Pengertian Shalat dan Pensyariatannya

Minggu, 26 Juli 20150 komentar

A. Pengertian Shalat

Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.
 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.
B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat
Sebelum shalat lima waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali dalam sehari semalam yang asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke Madinah. Sebagaimana tertulis dalam hadits nabawi berikut ini :
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ  rلَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا  ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ : إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ القَوْلُ لَدَيَّ  وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه أحمد والنسائي والترمذي وصححه
 Dari Anas bin Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan ,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat disyariatkan pada malam mi’raj, namun bukan 5 tahun sebelum hijrah, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5 tahun sebelum hijrah nabi.
C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat
Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau zindiq.
Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban shalat secara mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10 tahun, meski belum baligh.


1. Dalil dari Al-Quran
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim
 وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah : 5)
 وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".(QS. Al-Baqarah : 43)
Dan masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang mewajibkan umat Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :
§  Al-Baqarah ayat 43, 83 dan110
§  Surat An-Nisa ayat 177 dan 103
§  Surat Al-An`am ayat 72
§  Surat Yunus ayat 87
§  Surat Al-Hajj : 78
§  Surat An-Nuur ayat 56
§  Surat Luqman ayat 31
§  Surat Al-Mujadalah ayat 13
§  Surat Al-Muzzammil ayat 20.
Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata" (أقم الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada :
§  Surat Huud ayat 114
§  Surat Al-Isra` ayat 78
§  Surat Thaha ayat 14
§  Surat Al-Ankabut ayat 45
§  Surat Luqman ayat 17.



2. Dalil dari As-Sunnah
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  rيَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ  رواه البخاري و مسلم
 Dari Ibni Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Islam didirikan di atas lima hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat dalam agama Islam. Lima kali dalam sehari semalam.
Dengan adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas, maka lengkaplah dalil kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa divonis kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.
D. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Para ulama sepakat bahwa seorang muslim yang sudah akil baligh bila meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah Islam melalui mahkamah syar`iyah berhak memvonis mati orang yang murtad karena mengingkari kewajiban shalat.
Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai, sementara dalam keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah yang wajib dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga vonis kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.
Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat menurut para ulama antara lain :
1. Al-Hanafiyah
Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan keras hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati. Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat. Seperti berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada perintah shalat.
2. Ulama lainnya
Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada seorang muslim yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i, maka dia dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari. Artinya bila selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan shalat, maka hala darahnya dan boleh dibunuh.
3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena dasar hudud (hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga orang itu tidak dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama dengan seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka ini wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan shalat bukan karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat), tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
 إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir. Pendapat itu didasarkan pada firman Allah SWT :
فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR. Jamaah kecuali Bukhari) 
Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak shalat hanya karena alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak dianggap kafir. Barulah dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak  atau tidak menerima adanya kewajiban shalat dalam Islam.
E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi
Shalat lima waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya.
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi seseorang berada di tengah peradaban atau kota, tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan air tidak dapat dibenarkan.
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu Maghrib memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu `Isya` sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk menjama` shalat Isya` dengan Maghrib.
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya menjama` dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan dia masih dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota. Safar adalah perjalanan keluar kota yang secara jarak memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun tidak dikatakan safar bila masih dalam kota sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat shalat.
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka bumi.
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib. Mungkin ide ini dianggap gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba?





Waktu-waktu Shalat Fardhu

A.   Shalat Pada Waktunya

Shalat hanya boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan, maka shalat itu tidak sah.
Kecuali bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah bisa diterima. Seperti mengerjakana shalat dengan dijama` pada waktu shalat lainnya. Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya. Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan diluar ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran :
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
B. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud : 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang , yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghrib dan Isya`.
Ayat kedua
 أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra` : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir , yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

B.   Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ ْبنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ  جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الظُّهْرَ حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ، ثُمَّ جَاءَهُ المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلهِِّ فَصَلىَّ العِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ –أَوْ قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الصُّبْحَ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.
Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,"Bangunlah dan lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy. ) 
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  قَالَ :لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ قَبْلَ طُلُوْعِ النُّجُوْمِ – رواه أحمد والطبراني
Dari As-Saib bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
D. Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para fuqoha. Diantaranya yang bisa disebutkan adalah :

    Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
    Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
    Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
    Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
    Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
    Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
    Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
    Kitab Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan
    Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298.
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut :
1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
 Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.
Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
أَبِي مُوسَى: فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ, وَالنَّاسُ لا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ   اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلاةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ اَلصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ اَلطَّعَامُ رَوَاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ 
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِقَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR. Muslim) 
2. Waktu Shalat Zhuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.
 Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Namun hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar memudahkan dan bisa menambah khusyu’
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيّإِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ  وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ رواه البخاري
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
3. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اَللَّهِقَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR. Muttafaq ‘alaihi). 
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : سمَِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : تِلْكَ صَلاَةُ المُنَافِقِ  يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً رواه الجماعة ، إلا البخاري ، وابن ماجة
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"...Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit". (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِقَالَ: وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
 Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR. Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهقَالَ:حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ الْعصرِ
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat :"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.
4. Waktu Shalat Maghrib
 Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِقَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
 Dari Abdullah bin Amar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR. Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam". (HR. Tirmizy)
Namun menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.
5. Waktu Shalat Isya`
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَأَنَّ رَسُولَ اَللَّهِقَالَ: إِنَّمَا اَلتَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الأُخْرَى " أَخْرَجَهُ مُسْلِم
 Dari Abi Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR. Muslim) 
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى وَقَالَ: "إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan / menunda shalat Isya` hingga leat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,"Seaungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.". (HR. Muslim)
وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الاسْلَمِيِّ قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ اَلْعِشَاءِ,  وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا  وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Muttafaq ‘alaihi)
عن جَابِرٍ قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ, وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ,  وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّيُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau shallallahu 'alaihi wasallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)
E. Waktu Shalat Yang Diharamkan
Ada lima waktu dalam sehari semalam yang diharamkan untuk dilakukan shalat di dalamnya. Tiga di antaranya terdapat dalam satu hadits yang sama, sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits lainnya.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِيَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ  نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu berkata,"Ada tiga waktu shalat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit hingga meninggi, [2] ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam. .(HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّقَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِيَقُولُ: لا صَلاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ وَلا صَلاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak ada shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat sesudah shallat Ashar hingga matahari terbenam.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua waktu ini hanya melarang orang untuk melakukan shalat saja, sedangkan masalah menguburkan orang yang wafat, tidak termasuk larangan. Jadi boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore hari.
Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan diurutkan, kita akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan untuk melakukan shalat, yaitu :
a. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi.
Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits Amru bin Abasah adalah qaida-rumhin aw rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi baru saja muncul dari balik horison setinggi satu tombak atau dua tombak. Dan panjang tombak itu kira-kira 2,5 meter 7 dzira' (hasta). Atau 12 jengkal sebagaimana disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah.
b. Waktu Istiwa`
Yaitu ketika matahari tepat berada di atas langit atau di tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita. Tapi begitu posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
c. Saat Terbenam Matahari
Yaitu saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi. Begitu terbenam, maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat Maghrib atau pun shalat sunnah lainnya.
d. Setelah Shalat Shubuh Hingga Matahari Terbit
Namun hal ini dengan pengecualian untuk qadha' shalat sunnah fajar yang terlewat. Yaitu saat seseorang terlewat tidak melakukan shalat sunnah fajar, maka dibolehkan atasnya untuk mengqadha'nya setelah shalat shubuh.
e. Setelah Melakukan Shalat Ashar Hingga Matahari Terbenam.
Maksudnya bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka haram baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali ada penyebab yang mengharuskan. Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib baginya untuk shalat Ashar meski sudah hampir maghrib.
Bila Waktu Shalat Telah Lewat
Bila seseorang bangun kesiangan dari tidurnya dan belum shalat shubuh, maka yang harus dilakukan adalahsegera shalat shubuh pada saat bangun tidur. Tidak diqadha dengan zhuhur pada siangnya atau esoknya. Sebab kita telah mendapatkan keterangan jelas tentang hal itu dari apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau dan beberapa shahabat pernah bangun kesiangan dan melakukan shalat shubuh setelah matahari meninggi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّقَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan shalat) atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia menyadarinya”. (HR Muttafaq alaihi)
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan shalat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya (tentunya setelah bersuci terlebih dahulu), walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu yang terlarang melaksanakan shalat. Karena pelarangan shalat pada waktu-waktu tersebut berlaku bagi shalat-shalat sunnah muthlak yang tidak ada sebabnya. Sedangkan bagi shalat yang memiliki sebab tertentu, seperti halnya orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan shalat tersebut pada waktu-waktu terlarang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اَللَّهِقَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْل أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ   مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan shalat tersebut (shalat shubuh)." (HR Bukhari dan Muslim)
Salah satu rahasia untuk bisa bangun di waktu shubuh bukan memasang alarm, tetapi dengan cara tidur di awal malam. Kebiasaan tidur terlalu larut malam akan menyebabkan badan lesu dan juga sulit bangun shubuh.
Orang yang tidur di awal malam, pada jam 04.00 dini hari sudah merasakan istirahat yang cukup. Secara biologis, tubuh akan bangun dengan sendirinya, bergitu juga dengan mata.
Sebaliknya, orang yang tidur larut malam, misalnya di atas jam 24.00, sulit baginya untuk bangun pada jam 04.00 dini hari. Sebab secara biologis, tubuhnya masih menuntut lebih banyak waktu istirahat lebih banyak.
Tapi yang paling utama dari semua itu adalah niat yang kuat di dalam dada. Ditambah dengan kebiasaan yang baik, dimana setiap anggota keluarga merasa bertanggung-jawab untuk saling membangunkan yang lain untuk shalat shubuh.
Kalau mau memasang alarm, letakkan di tempat yang mudah terjangkau, deringnya cukup lama dan harusa memekakkan telinga. Jangan diletakkan di balik bantal, karena biasanya dengan mudah bisa dimatikan lalu tidur lagi. □


Adzan Sebelum Shalat
A. Perngertian Adzan
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu. dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir siksa yang pedih.(QS. At-Taubah : 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
 وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Sedangkan secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.
Sedangkan dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
B. Pensyariatan Adzan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
    Dalil dari Al-Quran
 وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
    Dalil dari sunnah :
وَعَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِقَالَ : قَالَ لَنَا اَلنَّبِيُّوَإِذَا حَضَرَتِ اَلصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami,"Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan".(HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِقَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: "اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ, فَذَكَرَ اَلاذَانَ - بِتَرْبِيع اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ, وَالاقَامَةَ فُرَادَى, إِلاَّ قَدْ قَامَتِ اَلصَّلاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِفَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..."
 Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku datangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,"Itu adalah mimpi yang benar, Insya Allah. Pergilah kepada Bilal dan sampaikan apa yang kamu lihat dalam mimpi. Sesungguhnya Bilal itu suaranya lebih terdengar dari suaramu". (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam juga diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali berkumandang di Madinah sebagaimana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.
C. Keutamaan Adzan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau berlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits  nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُوْلَ اللهِقَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الاآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara mereka.."(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandangkan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَأَنَّ النّبِيَّقَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه
 Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat". (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah) 
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muazzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
 وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
D. Hukum Adzan
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah muakkadah,  yaitu bagi laki-laki yang dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha, shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya digunakan seruan dengan lafaz "Ash-shalatu jamiatan" (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits berikut :

 Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kepada orang-orang diserukan : "Ash-shalatu Jami`atan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
E. Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
a. Telah masuk waktu shalat
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, maka Adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi Adzannya.
Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam. adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh. Yaitu pada saat fajar shadiq sudah menjelang.
b. Harus dengan bahasa arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.
c. Dilakukan oleh satu orang
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, maka hal itu tidak sah. Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan, dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.
d. Yang mengumandangkannya harus seorang muslim, laki-laki, akil dan baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non muslim, wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik. Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.
e. Harus tertib lafaznya
Tidak boleh terbolak balik dalam mengumandangkan Adzan. Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya wudhu` juga tidak diharuskan menghadap kiblat, juga tidak diharuskan berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di masa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas perintah nabi juga. 
F. Sunnah Adzan
Hal-hal yang disunnahkan dalam masalah adzan adalah berikut ini :
a.    Yang mengumandangkan adzan dianjurkan orang yang bersuara lantang dan bagus. Juga merupakan orang yang shalih, terpercaya, mengetahui waktu-waktu shalat dengan baik dan sudah akil baligh.
b.    Dilakukan di tempat yang tinggi dekat masjid agar bisa lebih jauh terdengar.
c.    Dilakukan dengan berdiri dan dalam kondisi berwudhu`. Juga dianjurkan untuk meletakkan jarinya di telinganya agar kuat bersuara lantang. Juga disunnahkan menghadap ke kiblat kecuali pada lafaz Hayya `alash shalah dan hayya `alal falah, disunnahkan untuk memalingkan badan ke kanan dan ke kiri tanpa menggeser kakinya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَقَالَ: رَأَيْتُ بِلالاً يُؤَذِّنُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَهَاهُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ 
Dari Abi Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Bilal mengumandangkan adzan dan mulutnya ke kanan dan ke sana dan kesini dan kedua jarinya berada pada kedua telinganya."(HR. Ahmad dan Tirmizy)
وَلابْنِ مَاجَهْ: وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْه
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan : Dan dia meletakkan jarinya berada pada telinganya.
وَلأَبِي دَاوُدَ: لَوَى عُنُقَهُ, لَمَّا بَلَغَ "حَيَّ عَلَى اَلصّلاةِ " يَمِينًا وَشِمَالاً وَلَمْ يَسْتَدِرْ وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ 
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan : beliau memalingkan lehernya ketika mengucapkan Hayya `alash shalah ke kanan dan ke kiri tapi tidak berputar.
d.    Dilakukan di awal  waktu shalat sehingga orang-orang bisa melakukan shalat lebih awal.
G. Adzan Selain untuk Shalat
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu  bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya, seperti :
a.    Adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.
b.    Pada waktu terjadi kebakaran
c.    Pada waktu terjadi peperangan
d.    Juga adzan dikumandangkan pada seseorang yang terkena pengaruh jin dan syetan (kesurupan). Sebab syetan akan lari bila mendengar suara Adzan.
e.    Juga dikumandangkan di bagian belakang orang yang akan bepergian (musafir).
Namun menurut pendapat mazhab Asy-Syafi`i yang muktamad, adzan tidak disunnahkan ketika memasukkan mayat ke dalam kuburnya. Ini berbeda dengan praktek umumnya masyarakat di negeri ini yang melakukan pendapat Asy-Syafiiyah yang tidak muktamad.□




SYARAT-SYARAT SHALAT

Syarat shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah ibadah shalat. Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan. Bila salah satu dari syarat ini tidak terdapat, maka shalat itu menjadi tidak sah hukumnya.
Syarat shalat itu ada dua macam. Pertama, syarat wajib. Yaitu syarat yang bila terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan shalat. Kedua, syarat sah. Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah shalat itu menjadi sah hukumnya.

A.   Syarat Wajib

Bila semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi seseorang yang telah memenuhi syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat. Sebaliknya, bila salah satu dari syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia belum diwajibkan untuk melakukan shalat.
Adapun yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah hal-hal berikut ini.

1.    Beragama Islam

Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya beban kewajiban shalat. Selama seseorang belum menjadi seoarang muslim, maka tidak ada beban kewajiban shalat baginya.
Tidak ada konsekuensi hukuman buat non muslim bila tidak mengerjakan shalat di dunia ini. Namun meski demikian, di akhirat nanti dia tetap akan disiksa dan dibakar di neraka. Sedangkan seorang muslim bila tidak shalat, selain disiksa di akhirat, di dunia ini pun harus dijatuhi hukuman oleh pemerintah Islam atau mahkamah syar`iyah. Itulah yang membedakan antara kewajiban shalat seorang muslim dengan non muslim.
Namun bila ada seorang kafir yang masuk Islam, tidak ada kewajiban untuk mengqadha` shalat yang selama ini ditinggalkannya. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT :
 قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الاوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka berhenti , niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah orang-orang dahulu ".(QS. Al-Anfal : 38)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya :
عَن عَمْرُو بْنِ الْعَاصِأَنَّ النَّبِيَّقَالَ الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَه رواه أحمد
 Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Keislaman seseorang akan menghapus semua dosa sebelumnya". (HR. Ahmad, At-Tabarany dan Al-Baihaqi). 
Namun sebaliknya, bila ada seorang muslim murtad dari agama Islam. Lalu masuk lagi ke dalam agama Islam, maka shalat yang pernah ditinggalkannya wajib digantinya dengan qadha`. Sebagai hukuman untuknya dan juga karena kekufurannya sesaat itu tidak lah menggugurkan kewajibannya kepada Allah. Persis seperti hutang seseorang kepada sesama manusia. Tetap wajib dibayarkan meski seseorang murtad dari Islam.
Namun menurut pendapat kalangan Al-Hanafiyah, orang yang murtad tidak wajib untuk mengqadha` shalat yang ditinggalkannya, lantaran pada hakikatnya dia adalah seorang non muslim yang tidak wajib shalat.
2. Baligh
Seorang anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib shalat. Dasarnya adalah sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا عَنْ اَلنَّبِيِّقَالَ: رُفِعَ اَلْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ اَلصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ اَلْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يَفِيقَ رَوَاهُ أَحْمَدُ
 Dari Ali radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pena telah diangkat dari tiga orang, dari seorang yang tidur hingga terjaga, dari seorang anak kecil hingga mimpi dan dari seorang gila hingga waras "(HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Hakim) 
Meskipun demikian, seorang anak kecil yang belum baligh tetap dianjurkan untuk diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih belum mau mengerjakannya setelah berusia 10 tahun. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِمُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فيِ المَضَاجِع‏ِ رواه أحمد وأبو داود
  Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Perintahkanlah anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka (anak-anak laki dan anak-anak perempuan)".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim) 
Namun perintah ini bukan untuk anak melainkan kepada para orang tua, yakni mereka diwajibkan untuk memerintahkan anaknya shalat pada usia 7 tahun. Sebagaimana firman Allah SWT :
 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa.".(QS. Thaha : 132)

2.    Berakal

Orang yang tidak waras seperti gila, ayan dan berpenyakit syaraf tidak wajib mengerjakan shalat. Sebab orang yang demikian tidak sadar diri dan tidak mampu berpikir. Maka tidak ada beban kewajiban beribadah atas dirinya. Kewajiban shalat hanya ada pada saat mereka sadar dan waras, dimana terkadang memang seseorang tidak selamanya gila atau hilang akal. Namun begitu ketidak-sadaran atas dirinya datang, maka dia tidak wajib mengerjakan shalat.
Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha` shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru mewajibkannya mengqadha` shalat.
Sedangkan bila hilang akal dan kesadaran karena seseorang mabuk, maka dia wajib mengqadha` shalatnya, karena orang yang mabuk tetap wajib shalat. Demikian juga hal yang sama berlaku pada orang yang tidur, begitu dia bangun, wajiblah atasnya mengqadha` shalat yang terlewat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّقَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang lupa shalat hendaklah segera shalat begitu ingat. Tidak ada kaffarah atasnya kecuali hanya melakukan shalat itu saja".(HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga hal di atas adalah syarat-syarat wajib shalat, dimana bila syarat itu terpenuhi pada diri seseorang, wajiblah atasnya untuk melakukan shalat.

B.   Syarat Sah Shalat

Sebagaimana dijelaskan di atas, syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang mengerjakan shalat agar shalatnya menjadi sah hukumnya. Diantaranya adalah :

1.    Mengetahui Bahwa Waktu Shalat Sudah Masuk

Bila seseorang melakukan shalat tanpa pernah tahu apakah waktunya sudah masuk atau belum, maka shalatnya itu tidak memenuhi syarat. Sebab mengetahui dengan pasti bahwa waktu shalat sudah masuk adalah bagian dari syarat sah shalat.
Bahkan meski pun ternyata sudah masuk waktunya, namun shalatnya itu tidak sah lantara pada saat shalat dia tidak tahu apakah sudah masuk waktunya atau belum.
Tidak ada bedanya, apakah seseorang mengetahui masuknya shalat dengan yakin atau sekedar berijtihad dengan dasar yang kuat dan bisa diterima.
Dasar keharusan adanya syarat ini adalah firman Allah SWT :
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)

2.    Suci dari Hadats Besar dan Kecil

Hadats besar adalah haidh, nifas dan janabah. Dan untuk mengangkat / menghilangkan hadats besar harus dengan mandi janabah. Sedangkan hadats kecil adalah kondisi dimana seseorang tidak punya wudhu atau batal dari wudhu`nya. Dan untuk mengangkat hadats kecil ini bisa dilakukan dengan wudhu` atau bertayammum. Allah SWT berfirman :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْوَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.. (QS. Al-Maidah : 6)

Selain itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنِ ابنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهقاَلَ : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat tanpa thaharah".(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
  عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُول اللهقَال : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَة امرِءٍ مُحْدِثٍ حَتَّى يَتَوَضَأ
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat seorang kamu bila berhadats sampai dia berwudhu`"(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmizy). 

3.    Suci Badan, Pakaian dan Tempat Shalat Dari Najis

Tidak sah seseorang shalat dalam keadaan badannya terkena najis, atau pakaiannya atau tempat shalatnya. Sebelum berwudhu, wajiblah atasnya untuk menghilangkan najis dan mencucinya hingga suci. Setelah barulah berwudhu` untuk mengangkat hadats dan mulai shalat. Dalil keharusan Sucinya badan dari najis adalah
###
 "Bila kamu mendapat haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan bila telah usai haidh, maka cucilah darah dan shalatlah".(HR. Bukhari dan Muslim) 
    Dalil keharusan sucinya pakaian dari najis adalah firman Allah SWT :
 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu, bersihkanlah".(QS. Al-Muddatstsir : 4)

Ibnu Sirin mengatakan bahwa makna ayat ini adalah perintah untuk mencuci pakaian dengan air.
    Dalil keharusan sucinya tempat shalat dari najis
Hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di dalam masjid. Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk menyiraminya dengan seember air.
"Siramilah pada bekas kencingnya dengan seember air".(HR. )

4.    Menutup Aurat

Tidak sah seseorang melakukan shalat bila auratnya terbuka, meski pun dia shalat sendirian jauh dari penglihatan orang lain. Atau shalat di tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan shalat adalah firman Allah SWT berikut ini :
  يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.".(QS. Al-A`raf : 31)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup aurat.
Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita memakai khimar pada saat shalat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّقَالَ لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ رواه الخمسة إلا النسائي
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat seorang wanita yang sudah mendapat haidh kecuali dengan memakai khimar.(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai). 
Khimar adalah kerudung yang menutup kepala seorang wanita.
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Asma`, bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk kepada wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud - hadits mursal). 
Kewajiban menutup aurat ini berlaku bagi setiap wanita yang sudah haidh baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Kecuali di dalam rumahnya yang terlinding dari penglihatan laki-laki yang bukan mahramnya.

5.    Menghadap ke Kiblat

Tidak sah sebuah ibadah shalat manakala tidak dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
 وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan dari mana saja kamu, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku . Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.(QS. Al-Baqarah : 150)
Pengecualian
Namun syarat harus menghadap ke kiblat ini tidak mutlak, karena masih ada beberapa pengecualian karena ada alasan yang memang tidak mungkin dihindari.
Pertama : shalat khauf
Dibolehkan tidak menghadap kiblat pada saat shalat khauf, yaitu shalat yang dilakukan pada saat perang menghadapi musuh. Maka bolehlah tidak menghadap kiblat tetapi malah menghadap ke arah dimana musuh berada. Kebolehan ini karena memang telah dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah dijelaskan teknisnya dalam hadits-hadits nabawi.
Kedua : shalat nafilah
Boleh tidak menghadap kiblat` pada saat shalat sunnah (nafilah) di atas kendaraan. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya.
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِيُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ رواه البخاري ومسلم ، وزاد البخاري : يُوْمِئُ والترمذي : وَلمَ يَكُنْ يَصْنَعُهُ فيِ المَكْتُوبَةِ
 Dari Amir bin Rabiah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas untanya dengan menghadap kemana pun arah untanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari menambahkan : “beliau membungkuk (saat rukuk dan sujud)”. At-Tirmizy berkata,”Namun beliau tidak melakukanya pada shalat wajib”.
Ketiga : dalam keadaan sakit
Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah memberikan kelonggaran lainnya yaitu bila seseorang dalam keadaan sakit yang parah dan membuatnya tidak bisa berubah posisi menghadap ke kiblat. Pada kondisi demikian, maka dibolehkan baginya shalat menghadap kemana saja yang dia mampu melakukannya.
Keharusan Berijtihad
Bila seseorang tidak tahu kemana arah kiblat, maka wajiblah baginya mencari tahu sebisanya dan berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mendapatkan informasi tentang arah kiblat. Meski pun hasilnya bisa berbeda-beda karena minimnya informasi. Hal itu tidak mengapa asalkan sudah berijtihad sebelumnya. Sebab dahullu para shahabat pernah mengalami kejadian dimana mereka shalat pada malam yang sangat gelap tanpa sinar sedikitpun dan juga tidak tahu arah kiblat. Lalu akhirnya mereka shalat menghadap ke arah apa yang mereka hayalkan saja. Saat Rasulullah diberitahu hal itu, beliau membaca firman Allah SWT :
 وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 115)□
Rukun-rukun Shalat
Rukun adalah pondasi atau tiang pada suatu banguna. Bila salah satu rukunnya rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila salah satu rukun shalat tidak dilakukan atau tidak sah dilakukan, maka keseluruhan rangkaian ibadah shalat itu pun menjadi tidak sah juga.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah. Sedangkan syarat adalah gerakan ibadah yang wajib dilakukan namun bukan bagian dari rangkaian gerakan ibadah.
A. Perbedaan Ulama Dalam Menentukan Rukun Shalat
Para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat hanya ada 6 saja. Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat ada 14 perkara. As-Syafi`iyah menyebutkan 13 rukun shalat dan Al-Hanabilah menyebutkan 14 rukun.
Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini yang kami buat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. WAhbah Az-Zuhaily.
Table Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab
No  Gerakan / Bacaan    Hanafi            Malik   Syafi`i Hambali
1.    Niat     x          rukun rukun x
2.    Takbiratul-ihram       rukun rukun rukun rukun
3.    Berdiri            rukun rukun rukun rukun
4.    Membaca Al-Fatihah           rukun rukun rukun rukun
5.    Ruku` rukun rukun rukun rukun
6.    I`tidal (bangun dari ruku`)  x          rukun rukun rukun
7.    Sujud rukun rukun rukun rukun
8.    Duduk Antara Dua Sujud  x          rukun rukun rukun
9.    Duduk Tasyahhud Akhir    rukun rukun rukun rukun
10.  Membaca Tasyahhud Akhir           x          rukun rukun rukun
11.  Membaca Shalawat Atas Nabi      x          rukun rukun rukun
12.  Salam x          rukun rukun rukun
13.  Tertib  x          rukun rukun rukun
14.  Tuma`ninah  x          rukun x          rukun

B. Rincian Rukun Shalat
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram maknanya adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya pengharaman. Yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat. Seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
 "dan Tuhanmu agungkanlah! (Bertakbirlah untuknya)" (QS. Al-Muddatstsir : 3) 
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله  : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
 Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Khamsah kecuali An-Nasai)
 Dari Rufa`ah Ibnu Rafi` bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)
 "Bila kamu shalat maka bertakbirlah". (HR. Muttafaqun Alaihi)
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar,  artinya Allah Maha Besar. Sebuah zikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah shalat terpenuhi. Yaitu sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan, pakaian dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu bahwa waktu shalat sudah masuk dan lainnya.
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِقَالَ :إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا رواه الشيخان
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi) 
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir bersama-sama dengan imam
2. Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat dengan dalil berdasarkan firman Allah SWT :
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
 "...Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'." (QS. Al-Baqarah : 238)
Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk shalat
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّعَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ رواه البخاري
 Dari `Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah dengan berdiri, bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup sambil berbaring".(HR. Bukhari)
 Hadits ini juga sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu berdiri. Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tidak wajib berdiri. Misalnya orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah. Atau dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah. Bahkan As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan anggota tubuh itu di dalam hati.
Juga perlu diperhatikan bahwa kewajiban berdiri dalam shalat hanya berlaku untuk shalat fardhu saja. Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah) tidak diwajibkan berdiri meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan melakukan shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat dan mampu berdiri.
Para fuqaha mazhab sepakat mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud adalah berdiri tegak. Tidak boleh bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau tembok, kecuali buat orang yang tidak mampu. Terutama bila tongkat atau temboknya dipisahkan, dia akan terjatuh. Adapun As-Syafi`iyah tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri tegak tanpa bersandar kepada benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja. Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah dibolehkan bersandar.
3. Membaca Al-Fatihah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dimana shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya. Dengan dalil kuat dari hadits nabawi :
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِقَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ   لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran"(HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)
a. Mazhab As-Syafi`i
Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Kerena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar). 
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.
b. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Sehingga dalam tolok ukur mereka, membaca surat Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal tidak membaca Al-Fatihah tapi sah shalatnya. Bahkan makmum shalat dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa yang diucapkan imam.
Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran diperintahkan membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
  ...maka bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an (QS. Al-Muzzamil : 20)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran".(HR. Muslim)
Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun, dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek. 

Bacaan Basmalah : Khilaf para ulama, apakah bagian dari Al-Fatihah atau bukan?
Menurut mazhab As-Syafi`iyah, lafaz basmalah (bismillahirrahmanirrahim) adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَقَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِإِذَا قَرَأْتُمْ اَلْفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا : ( بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ ) , فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا   رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu membaca alhamdulillah (surat Al-Fatihah), maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena Al-Fatihah itu ummul-Quran`, ummul-kitab, sab`ul-matsani. Dan bismillahirahmanir-rahim adalah salah satu ayatnya". (HR. Ad-Daruquthuny).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu` ada 6 orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr). Bila kita perhatikan imam masjidil al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.  
4. Ruku`
 Ruku` adalah gerakan membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki. Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak karena kelurusan punggungnya.
Perintah untuk melakukan rukuk adalah firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
"Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj : 77)
Dan juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُهُ إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ruku` meletakkan tangannya pada lututnya." (HR. Muttafaqun Alaihi)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila ruku` tidak mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara keduanya".
Untuk sahnya gerakan ruku`, posisi seperti ini harus terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku` tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada posisi ruku` yang disebut dengan istilah thuma`ninah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ أَنّ الَّنِبيَّقَالَ أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ  قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا رواه أحمد والحاكم
 Dari Abi Qatadha berkata bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pencuri yang paling buruk adalah yang mencuri dalam shalatnya". Para shahabat bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dalam shalat?". "Dengan cara tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya". atau beliau bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai lurus ketika ruku` dan sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarany, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban)
Para ulama fiqih menyebutkan bahwa perbedaan ruku`nya laki-laki dan wanita adalah pada letak tangannya. Laki-laki melebarkan tangannya atau merenggangkan antara siku dengan perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya, mendekatkan tangannya ke tubuhnya .
5. I`tidal
I`tidal adalah gerakan bangun dari ruku` dengan berdiri tegap dan merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.
Kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama mereka. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i`tidal tidak termasuk rukun shalat, melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i`tidal hanyalah konsekuensi dari tuma`ninah. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku` dan sujud tanpa menyebutkan i`tidal.
 
 "Dan ruku` lah dan sujudlah" (QS. Al-Hajj : 77)
Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang lainnya mengatakan bahwa i`tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i`tidal maka shalatnya batal dan tidak sah. 
6. Sujud
 Secara bahasa, sujud berarti
    al-khudhu` (الخضوع)
    at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
    al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar`i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud kepada Allah SWT. Dasarnya adalah hadits nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ   أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ , وَالرُّكْبَتَيْنِ , وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
 Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.(HR. Bukhari dan Muslim  (
Manakah yang lebih dahulu diletakkan, lutut atau tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di kalangan ulama.
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini. 
عَنْ وَائِل بن حُجْر قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه الخمسة إلا أحمد
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini : 
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ قال قال رسول الله إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّرُكْبَتَيْهِ-رواه أحمد والنسائي والترمذي
Dari Abi Hurariah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya. Maka demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
7. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama dan hanya merupakan kewajiban menurut Al-Hanafiyah. Posisi duduknya adalah duduk iftirasy, yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki kiri. Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat. Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan menjulurkan jari-jarinya.
8. Duduk Tasyahhud Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.
Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy. Dalilnya adalah hadits berikut : 
عَنْ وَائِل بنِ حجر قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَسَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى – رواه الترمذي
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau duduk (tasyahhud), beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)
Ada pun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :  Dari Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk. 
9. Salam Pertama
Ada dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Salam pertama adalah fardhu shalat menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan salam yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu, kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur. Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja .
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang juga berfungsi sebagai penutup shalat. Dalilnya adalah :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله  : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
 Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tidak disunnahkan untuk meneruskan lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dengan dalil :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ - رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi salam ke kanan dan ke kiri : Assalamu ‘alaikum warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah, hingga nampak pipinya yang putih. (HR. Khamsah)
Selain sebagai penutup shalat, salam ini juga merupakan doa yang disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya, bila tidak ada maka diniatkan kepada jin dan malaikat.
10. Thuma`ninah
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud .
عَنْ حُذَيْفَة أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَة: مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – رواه أحمد والبخاري
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya, beliau memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu belum shalat, bila kamu mati maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah Allah tetapkan di atasnya risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari)

11. Tertib

Sunnah-sunnah Shalat
1. Mengangkat kedua tangan saat takbiratul Ihram
Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan saat takbiratul ihram, yaitu setinggi kedua pundak. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya saat memulai shalatnya (HR. Muttafaq 'Alaihi)
Dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa laki-laki mengangkat tangan hingga kedua telinganya sedangkan wanita mengangkat sebatas pundaknya saja. Dalilnya adalah :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meluruskan kedua tanggannya setinggi kedua telinganya.(HR. Muslim)
Dari Al-Barra' bin Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila shalat mengangkat kedua tanggannya hingga kedua jempol tangannya menyentuh kedua ujung telinganya (HR. Ahmad, Ad-Daruquthny)
Sedangkan Al-Hanabilayh menyebutkan bahwa seseorang boleh memilih untuk demikian atau mengangkat tangannya hingga kedua ujung telinganya. Dalilnya adalah bahwa keduanya memang punya dasar hadits yang bisa dijadikan sandaran. Saat mengangkat kedua tangan, dianjurkan agar jari-jari terbuka tidak mengepal, sebagaimana pendapat jumhur. Serta menghadap keduanya ke arah kiblat.
2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
Jumhur ulama selain Al-Malikiyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk meletakkan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tapak tangan kirinya, atau pergelangannya atau lengannya (antara siku hingga pergelangan tangan)(HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i)
Sedangkan dimana diletakkan kedua tangan itu, para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan di bawah pusat, ada juga yang mengatakan di antara dada dan pusat, dan ada juga yang mengatakan di dada.
a. Di bawah pusat
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah pusat diantaranya adalah Al-Hanafiyah, dengan landasan hadits berikut ini :
Diriwayatkan dari Ali bin abi Thalib ra,"Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada praktek shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana beliau menyaksikannya.
b. Di antara pusat dan dada
Diantara yang berpendapat demikian adalah Asy-syafi'iyah. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍقَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّفَوَضَعَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ اَلْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ أَخْرَجَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu berakta,”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dan meletakkan kedua tangannya di atas dada.(HR. Ibnu Khuzaemah)
Sedangkan Al-Malikiyah tidak menganggap meletakkan tangan di atas dada dan lainnya itu sebagai sunnah. Bagi mazhab ini, posisi tangan dibiarkan saja menjulur ke bawah. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu kurang disukai bila dilakukan di dalam shalat fardhu 5 waktu, namun dibolehkan bila dilakukan dalam shalat sunnah (nafilah).
3. Melihat ke tempat sujud
As-Syafi'iyah dan para ulama lainnya mengatakan bahwa melihat ke arah tempat sujud adalah bagian dari sunnah shalat. Sebab hal itu lebih dekat ke arah khusyu'. Selain itu memang ada dalilnya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat, tidak melihat kecuali ke arah tempat sujudnya. (Hadits Dhaif, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini tidak diketahuinya)
Kecuali saat tahiyat, maka pandangan diarahkan ke jari tangan kanannya. Sebagaimana hadits berikut :
Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kirinya lalu menunjuk dengan telunjuknya dan pandangan matanya tidak lepas dari telunjuknya itu". (HR. Ahmad, An-Nasai, Abu Daud)
4. Doa istiftah (doa tsana`)
Doa istiftiftah juga seringkali disebut dengan doa iftitah atau do'a tsana'. Semuanya merujuk pada lafadz yang sama. Hukum membacanya adalah sunnah menurut jumhur ulama, kecuali Al-Malikiyah yang menolak kesunnahannya.
Sedangkan lafadznya memang sangat banyak versinya. Dan bisa dikatakan bahwa semuanya bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ عُمَرَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ , تَبَارَكَ اِسْمُكَ , وَتَعَالَى جَدُّكَ , وَلا إِلَهُ غَيْرُكَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ مَوْصُولاً وَهُوَ مَوْقُوفٌ
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca : “Maha suci Engaku dan segala puji untuk-Mu. Diberkahilah asma-Mu, tinggilah keagungan-Mu. Dan tiada tuhan kecuali Engkau.(HR. Muslim)
Lafaz ini diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahu ‘anhu dengan perawi Abu Daud dan Ad-Daruquthuny.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍعَنْ رَسُولِ اَللَّهِأَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى اَلصَّلاةِ قَالَ : "وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَّرَ اَلسّمَوَاتِ " . . . إِلَى قَوْلِهِ : "مِنْ اَلْمُسْلِمِينَ , اَللَّهُمَّ أَنْتَ اَلْمَلِكُ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ , أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ . . .  إِلَى آخِرِهِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bila berdiri untuk shalat membaca :”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang muslim.(HR. Muslim)
Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti Imam Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz ini sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, kecuali bagian terakhir tanpa kata "awwalu".
Selain itu juga ada lafdaz lainnya seperti di bawah ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَقَالَ :كَانَ رَسُولُ اَللَّهِإِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً , قَبْلِ أَنْ يَقْرَأَ , فَسَأَلْتُهُ , فَقَالَ : "أَقُولُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ , اَللَّهُمَّ نقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى اَلثَّوْبُ اَلابْيَضُ مِنْ اَلدَّنَسِ , اَللَّهُمَّ اِغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila bertakbir memulai shalat, beliau diam sejenak sebelum mulai membaca (Al-Fatihah). Maka aku bertanya padanya dan beliau menjawab,”Aku membaca : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engaku mensucikan pakaian dari kotoran. Ya Allah, mandikan aku dengan air, salju dan embun". (HR. Muttafaq ‘alaihi)
5. Mengucapkan Amin
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini
وَعَنْ نُعَيْمٍ اَلْمُجَمِّرِقَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ : (بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ) . ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ , حَتَّى إِذَا بَلَغَ : (وَلا اَلضَّالِّينَ) , قَالَ : "آمِينَ" وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ , وَإِذَا قَامَ مِنْ اَلْجُلُوسِ : اَللَّهُ أَكْبَرُ . ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لاشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ اَللَّهِرَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ 
Dari Nu;aim Al-Mujammir radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku shalat di belakang Abu Hurairah, beliau membaca : bismillahirrahmanirrahim. Kemudian beliau membaca ummul-quran (Al-Fatihah), hingga beliau sampai kata (waladhdhaallin) beliau mengucapkan : Amien. Dan beliau mengucapkannya setiap sujud. Dan bila bangun dari duduk mengucapkan : Allahu akbar. Ketika salam beliau berkata : Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaemah).
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Apabila imam mengucapkan "Amien", maka ucapkanlah juga. Siapa yang amin-nya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, maka Allah mengampunkan dosa-dosanya yang telah lampau.(HR. Jamaah kecuali At-Tirmizy)
6. Merenggangkan kedua tumit
Disunnahkan merenggangkan kedua tumit saat berdiri kira-kira selebar 4 jari. Sebab posisi yang demikian sangat dekat dengan khusyu'. Sedangkan Imam As-syafi'i mengatakan bahwa jaraknya kira-kira sejengkal. Dan makruh untuk menempelkan keduanya karena menghilangkan rasa khusyu'.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan disunnahkan untuk merenggangkannya tapi tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat.
7. Membaca sebagian surat Quran setelah membaca Al-Fatihah
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Terkadang beliau mendengarkan ayat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Ashar pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Dan beliau beliau memanjangkannya di rakaat pertama shalat shubuh dan memendekkannya di rakaat kedua. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dari Abu Bazrah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat shubuh dari 60-an ayat hingga 100-an ayat.". (HR. Muttafaqun 'alaihi)
8. Takbir ketika ruku`, sujud, bangun dari  sujud dan berdiri dari sujud.
Dasrnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri atau duduk". (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan status shahih).
Kecuali pada saat bangun dari ruku', maka bacaannya adalah "Sami'allahu liman hamidah". Maknanya, Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.
9. Meletakkan kedua lutut lalu kedua tangan kemudian wajah ketika turun sujud dan sebaliknya
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Kedua pendapat yang anda tanyakan itu masing-masing memiliki dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Baik yang mengatakan tangan dulu baru lutut atau yang sebaliknya, lutut dulu baru tangan.
Pendapat Pertama: Tangan lebih dulu.
Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”bila kamu sujud, maka janganlah duduk seperti cara duduknya unta. Hendaklah dia meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya.
Para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah: Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-auza‘i.
Pendapat Kedua: Lutut lebih dulu. Dari Wail bin Hujr berjata,”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkanb kedua lututnya sebelum tangannya.
Sedangkan para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah: mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat mazhab Imam Malik.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut karena menurut anggapa nmereka hadits yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan. Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebhi dahulu. Hal ini justru bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-bukhari ini. Yaitu tebaliknya perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih dahulu bahru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafaz dalam hadits bukan hal yang tidak mungkin.
10. Sunnah dalam sujud
Disunnahkan untuk memperbanyak doa pada saat sujud. Dengan dalil sunnah beriku ini.
Seorang hamba terdekat dengan tuhannya pada saat sedang sujud, maka perbanyaklah doa pada saat sujud itu, pastilah akan dikabulkan".(HR. Muslim)
Dari Abi Said radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Muaz, bila kamu meletakkan wajahmu dalam sujud, katakanlah : Ya Allah, tolonglah aku untuk bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu."
11. Doa saat duduk di antara dua sujud
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah, doa yang dibaca ketika duduk antara 2 sujud adalah lafadz berikut ini.
 رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنيِ
Artinya : Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikah aku kekuatan, angkatlah aku, beri aku rezeki, tunjuki aku dan sehatkan aku".
Dalilnya adalah riwayat berikut ini :
Dari Huzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa dirinya shalat bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengucapkan antara dua sujud : Rabbighfirli".(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
12. Bertasyahhud awal
13. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha.
14. Shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir
Mazhab As-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya sunnah menurut As-Syafi`iyah dan hukumnya wajib menurut Al-Hanabilah.
Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah.
Adapun lafaz shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah :
Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka hamidun majid.(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Artinya : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung.
* Masalah penggunaan lafaz Sayyidina
Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata [sayyidina] saat mengucapkan shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (shalawat Ibrahimiyah). Landasannya adalah bahwa penambahan kabar atas apa yang sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk adab. Jadi lebih utama digunakan dari pada ditinggalkan. 
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,`Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan sayyidina di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` (palsu) dan dusta.
15. Doa sesuadah shalawat pada tasyahhud akhir
Diantara doa yang masyhur dan ma`tsur (diwariskan dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah lafaz berikut ini :
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar.
Atau lafaz berikut ini
Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira, wa innahu la yaghfiruz-zunuba illa anta, faghfirli maghfiratan min indika, warhamni innaka antal ghafururrahim. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya : Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang besar. Tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau. Maka ampunilah diriku dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah diriku ini karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (HR. Bukhari dan Muslim dan lafaznya dari Muslim)
Atau lafaz ini
Allahumma inni audzu bika min azabi jahannam, wa min azabil qabri, wa min fityatil mahya wa mamat, wa min syarri fitnati masihid-dajjal.
Artinya : Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari dari azab jahannam, dan dari azab kubur, dan dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, dan dari fitnah al-masih Dajjal.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian telah selesai dari tasyahhud akhir maka berlindunglah kepada Allah dari empat hal : [1] dari azab jahannam, [2] dari azab kubur, [3] dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, [4] dari fitnah al-masih Dajjal.
Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk membaca doa ini dalam tasyahhud akhir.
16. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat mengucap dua salam
Dari Said bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata,`Aku melihat NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri hingga terlihat putih pipi beliau`.(HR. Muslim)
Dalam lain riwayat disebutkan
`NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan hingga terlihat putih pipi beliau dan melakukan salam ke kiri hingga terlihat putih pipi beliau`.(HR. Ad-Daruquthuny)
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa ketika memulai lafaz salam (assalamu `alaikum), wajah masih menghadap kiblat. Ketika mengucapkan (warahmatullah), barulah menoleh ke kanan dan ke kiri.
17. Melirihkan salam yang kedua
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan untuk melirihkan ucapan salam kedua dan mengeraskan ucapan salam yang pertama. Demikian juga dengan Al-Malikiyah, mereka mengatakan disunnahkan untuk melirihkan salam yang kedua dan menjaharkan salam yang pertama, baik sebagai imam, sebagai makmum atau pun bila shalat sendiri.
18. Menunggu bagi masbuq hingga imam selesai dengan dua salamnya
Disunnahkan bagi makmum untuk tidak segera mengucapkan salam kecuali setelah imam selesai dengan kedua salamnya. Hal itu dikarenakan untuk berjaga-jaga apabila ternyata imam masih akan melakukan sujud sahwi. Menunda salam bagi makmum hingga imam selesai dengan kedua salamnya adalah sunnah menurut Al-Hanafiyah.
19. Khusyu`, tadabbur dalam bacaan shalat dan zikir
AL-Imam As-Syafi`i menyebutkan bahwa disunnahkan untuk melakukan shalat dengan khusyu` serta tadabbur (merenungkan) bacaan Al-Quran pada shalat. Termasuk juga bacaan-bacaan lain (zikir) dalam shalat. Beliau juga menyunnahkan untuk memulai shalat dengan segenap konsentrasi, mengosongkan hati dari segala pikiran duniawi, karena hal itu lebih memudahkan seseorang untuk bisa khusyu` dalam shalatnya.□

Pertemuan 7
 Hal-hal Yang Membatalkan Shalat
Di antara ha-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :
1. Berbicara
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu kami bercakap-capak pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Peliharalah semua shalat, dan shalat wusthaa . Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
2. Makan dan Minum
3. Banyak Gerakan dan Terus Menerus
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus. Mazhab As-syafi'i memberikan batasan sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong anak (cucunya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil mengendong Umamah, anak perempuan dari anak perempuannya. Bila beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sujud, anak itu diletakkannya dan bila berdiri digendongnya lagi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain). Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu tidak termasuk yang membatalkan shalat.
4. Tidak Menghadap Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Kecuali pada shalat sunnah, dimana menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya di atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.
5. Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.
6. Mengalami Hadts Kecil atau Besar
Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya. Baik terjadi tanpa sengaja atau secara sadar.
Namun harus dibedakan dengan orang yang merasa ragu-ragu dalam berhadats. Para ulama mengatakan bahwa rasa ragu tidak lah membatalkan shalat. Shalat itu baru batal apabila memang ada kepastian telah mendapat hadats.
7. Tersentuh Najis baik pada Badan, Pakaian atau Tempat Shalat
Bila seseorang yang sedang shalat terkena benda najis, maka secara langsung shalatnya menjadi batal. Namun yang dijadikan patokan adalah bila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya. Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan.
Demikian juga bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukuran, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
8. Tertawa
Orang yang tertawa dalam shalatnya, batallah shalatnya itu. Maksudnya adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Adapun bila sebatas tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
9. Murtad, Mati, Gila atau Hilang Akal
Orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Demikian juga bila mengalami kematian. Dan orang yang tiba-tiba menjadi gila dan hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.
10. Berubah Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba terbetik niat untuk tidak shalat di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.
11. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan, maka shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya, seseorang lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Kecuali dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengataka bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.
12. Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam, seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan shalat.
AS-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.
13. Terdapatnya Air bagi Orang yang Shalatnya dengan Tayammum
Seseorang yang bertayammum sebelum shalat, lalu ketika shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan berwudhu', maka shalatnya batal. Dia harus berwudhu' saat itu dan mengulangi lagi shalatnya.
14. Mengucapkan Salam Secara Sengaja
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Dasarnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat. Kecuali lafadz salam di dalam bacaan shalat, seperti dalam bacaa tahiyat. □
Shalat Berjamaah
Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya banyak bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi sebuah muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan satu waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa yang telah mereka pahami.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah terutama dalam beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang dengan bentuk jamak.
يَآيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)

Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara berjamaah, hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan kata `kami`.
 Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS. Al-Fatihah : 6-7)
A. Sejarah Shalat Jamaah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR. Bukhari)
B. Anjuran untuk Shalat Berjamaah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh kali`. (HR Muslim)
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari  dalam kitab adzan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk bericadah, adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya, kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...". (HR. Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai) 
 Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR. Muslim) 
 Dari Ibni Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)  
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)
C. Siapakah Yang Disyariatkan Untuk Shalat Jamaah
Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk shalat berjamaah secara ijma`.
Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila aman dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi ke masjid.
2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat berjamaah.
3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak wajib dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau shalat gerhana matahari dan bulan.
D. Kapan Seorang Masbuq Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam sejak mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan. Namun bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai batas manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna bersama imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu kali takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
1. Pendapat Pertama : minimal ikut satu rakaat terakhir
Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa ikut satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat berjamaah. Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin As-Sa`di.
Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut ini:
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
 Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)
Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut sebuah shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa dikatakan telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat tidak bisa dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya mendapatkan kurang dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam shalat setelah imam bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap tidak mendapatkan shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat bersama imam.
2. Pendapat Kedua : minimal ikut satu takbir terakhir
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih mendapatkan satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia mendapatkan shalat berjamaah.
Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama kalangan Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad bin Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin jilid 2 halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf jilid 2 halaman 221).
Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang), apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal sempurnakanlah.`(HR. Muslim) .
Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat jamaah pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir, disebutkan telah mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa yang tertinggal. Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam yang terakhir sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir sebelum tasyahhud akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
E. Hukum Shalat Berjamaah
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :
 Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
 Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR. Muslim 292 - 674)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini .
2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. 
Dalilnya adalah hadits berikut :
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya . 
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim) .
3. Pendapat Ketiga : Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani . Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib .
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah .
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah . Ad-Dardir  berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah .
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
 Dari Abi Musa radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. 
4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya . Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah . Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
 Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim) 
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)

Kesimpulan :
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Globalislam.com / media islam network - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger