A. Pengertian Shalat
Secara
bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam
Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk
mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dalam
ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan
dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun
makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan
gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
sebagai sebuah ibadah ritual”.
B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat
Sebelum
shalat lima
waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah
shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah
pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali dalam sehari semalam yang
asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 27
Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke Madinah. Sebagaimana tertulis
dalam hadits nabawi berikut ini :
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ rلَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ
خَمْسًا ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ :
إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ القَوْلُ لَدَيَّ
وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه أحمد والنسائي والترمذي وصححه
Dari Anas bin
Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
shalat pada malam beliau diisra`kan
50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan
,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi
mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan
oleh At-Tirmizy)
Sebagian
dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat disyariatkan pada malam mi’raj,
namun bukan 5 tahun sebelum hijrah, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5
tahun sebelum hijrah nabi.
C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat
Shalat
diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’
umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang menolak kewajiban shalat kecuali
orang-orang kafir atau zindiq.
Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban shalat secara
mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah akil baligh.
Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat ketika berusia
7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10 tahun, meski
belum baligh.
1. Dalil dari Al-Quran
Allah
SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus ,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah
: 5)
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ
النَّصِيرُ
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim.
Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".(QS. Al-Baqarah : 43)
Dan
masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang mewajibkan umat
Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran
lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة)
yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata
perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu
pada surat :
§ Al-Baqarah
ayat 43, 83 dan110
§ Surat
An-Nisa ayat 177 dan 103
§ Surat Al-An`am ayat
72
§ Surat
Yunus ayat 87
§ Surat Al-Hajj : 78
§ Surat
An-Nuur ayat 56
§ Surat
Luqman ayat 31
§ Surat
Al-Mujadalah ayat 13
§ Surat
Al-Muzzammil ayat 20.
Ada
5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata" (أقم الصلاة) yang bermakna "dirikanlah
shalat" dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada :
§ Surat
Huud ayat 114
§ Surat
Al-Isra` ayat 78
§ Surat
Thaha ayat 14
§ Surat
Al-Ankabut ayat 45
§ Surat
Luqman ayat 17.
2. Dalil dari As-Sunnah
Di
dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali
perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban
shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ
بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ rيَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ رواه البخاري و مسلم
Dari Ibni Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Islam didirikan di atas lima
hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke
Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa
seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga
hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat dalam agama Islam. Lima kali dalam sehari
semalam.
Dengan
adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas, maka lengkaplah dalil
kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari kewajiban shalat
termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa divonis
kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.
D. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Namun
bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai, sementara dalam
keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah yang wajib
dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga vonis kafir
tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena seseorang baru
saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah Islam yang
mengajarkan kewajiban shalat.
Secara
duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat menurut para
ulama antara lain :
1. Al-Hanafiyah
Menurut
kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat
hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan keras hingga
keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan shalat. Bila tidak
mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati. Namun dia tidak
boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat. Seperti
berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada perintah
shalat.
2. Ulama lainnya
Sedangkan
para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada seorang muslim yang malas tidak
mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i, maka dia dituntun untuk
bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari. Artinya bila selama
tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan shalat, maka hala
darahnya dan boleh dibunuh.
3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka
mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena dasar hudud (hukum dari
Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga orang itu tidak dianggap sebagai
kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama dengan seorang muslim yang
berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka ini wajib dihukum hudud meski
statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun tetap harus dishalatkan dan dikuburkan
di pekuburan Islam.
Jumhur
ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan shalat bukan karena jahd (sengaja
tidak mengakui kewajiban shalat), tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah
firman Allah SWT :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan
imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat harus
dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir. Pendapat itu didasarkan pada firman
Allah SWT :
فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ
لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ
الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga
ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Batas antara seorang dengan kekafiran adalah
meninggalkan shalat (HR. Jamaah kecuali Bukhari)
Namun
pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak shalat hanya karena
alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak dianggap kafir. Barulah
dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak
atau tidak menerima adanya kewajiban shalat dalam Islam.
E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi
Shalat lima
waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah
telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan
rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya.
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak berarti
boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila
memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi
seseorang berada di tengah peradaban atau kota ,
tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan
yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman
kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung
yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan
air tidak dapat dibenarkan.
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu Maghrib
memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu `Isya`
sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk
menjama` shalat Isya` dengan Maghrib.
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya menjama`
dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan dia masih
dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota . Safar adalah perjalanan keluar kota yang secara jarak
memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun tidak dikatakan
safar bila masih dalam kota
sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan bagaimana agar
bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam perjalanan pulang
harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat shalat.
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi
sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa
terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini
sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka
bumi.
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal
sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air
sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual
di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita
bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib di
tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas
Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup
dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan bus
jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka tidak
ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus itu
bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada
mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib. Mungkin ide ini dianggap
gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba? □
Waktu-waktu Shalat Fardhu
A. Shalat
Pada Waktunya
Shalat hanya boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat dikerjakan di luar waktu yang telah
ditetapkan, maka shalat itu tidak sah.
Kecuali bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah bisa
diterima. Seperti mengerjakana shalat dengan dijama` pada waktu shalat lainnya.
Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan
mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar
dari waktunya. Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja
dan diluar ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak
sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah SWT telah
berfirman dalam Al-Quran :
إِنَّ
الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
B. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan
waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling
tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat
secara global.
وَأَقِمِ
الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian
permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang
ingat"(QS. Huud : 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu
kedua tepi siang , yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan
malam, yaitu Maghrib dan Isya`.
Ayat kedua
أَقِمِ
الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ
إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS.
Al-Isra` : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat
yaitu sesudah matahari tergelincir , yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan
gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat
shubuh.
B. Waktu-waktu
Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits
Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil tentang
waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya
dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits
berikut ini :
عَنِ ْبنِ
عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ
فَصَلىَّ الظُّهْرَ حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ :
قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ،
ثُمَّ جَاءَهُ المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ
وَجَبَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلهِِّ فَصَلىَّ
العِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ
الفَجْرُ –أَوْ قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ
الصُّبْحَ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.
Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,"Bangunlah dan
lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari
tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan
lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat
Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian
waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan
shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Maghrib
ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril
berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian
waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan
shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Shubuh
ketika waktu fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy. )
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang
waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :
عَنِ السَّائِبِ
بْنِ يَزِيْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ :لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ
قَبْلَ طُلُوْعِ النُّجُوْمِ – رواه أحمد والطبراني
Dari As-Saib bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam
fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul
bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
D. Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari
hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah
untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu.
Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang
menjadi masterpiece para fuqoha. Diantaranya yang bisa disebutkan adalah :
Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331
s/d 343,
Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman
219-338,
Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman
176-181,
Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 -
127,
Kitab Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51 - 54
dan
Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289
- 298.
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih
spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu
adalah sebagai berikut :
1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
Dimulai sejak terbitnya
fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab
bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya
matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur
yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar
kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat
dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke
atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian
langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang
benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk
Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan
masuknya waktu shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama
disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq.
Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang
menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya
matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.
Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
أَبِي مُوسَى:
فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ, وَالنَّاسُ لا يَكَادُ يَعْرِفُ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan
menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan
menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
عَنْ اِبْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اَلْفَجْرُ
فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلاةُ, وَفَجْرٌ
تَحْرُمُ فِيهِ اَلصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ
اَلطَّعَامُ رَوَاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama,
fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang
mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu
Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ
تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari
terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR. Muslim)
2. Waktu Shalat Zhuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah
mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam
terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan
bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan
karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan
berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya
matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas
kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat
di atas kepala.
Dan waktu untuk shalat
zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan
panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1
meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat
itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya
matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada
saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat
maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di
tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum
lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena
posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi
atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Namun hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan bila siang sedang
panas-panasnya, dengan tujuan agar memudahkan dan bisa menambah khusyu’
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berikut ini :
عَنْ أَنَسٍ
قَالَ : كَانَ النَّبِيّ إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ
بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ
أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ رواه البخاري
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat.
Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
3. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah
habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya
dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika
matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain
hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ
قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ
أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً
مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum
tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan
orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka
dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat
Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar
lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di
waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.
عَنْ أَنَسٍ
قَالَ : سمَِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ : تِلْكَ صَلاَةُ المُنَافِقِ
يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي
الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً
رواه الجماعة ، إلا البخاري ، وابن ماجة
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"...Itu adalah shalatnya
orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di
antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut
nama Allah kecuali sedikit". (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir
sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di
ufuk barat sebelum terbenam.
عَنْ عَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ قَالَ: وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR.
Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama.
Dasarnya adalah hadits Aisah ra.
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله قَالَ:حَافِظُواْ
عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ
الْعصرِ
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat
:"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha
adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Wustha adalah
shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang
diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1
halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat
Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat
Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu
adalah shalat shubuh.
4. Waktu Shalat Maghrib
Dimulai sejak terbenamnya
matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak
hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya
syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
عَنْ عَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Amar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR. Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah
adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang
berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang.
Dalil beliau adalah :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi
hitam". (HR. Tirmizy)
Namun menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak
shahih.
5. Waktu Shalat Isya`
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini
hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang
menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu
shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat
shubuh.
عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ
قَالَ: إِنَّمَا اَلتَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ
الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الأُخْرَى " أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Dari Abi Qatadah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang
yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR. Muslim)
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak
masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ
بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى وَقَالَ:
"إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengakhirkan / menunda shalat Isya` hingga leat tengah malam,
kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau
bersabda,"Seaungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak
memberatkan umatku.". (HR. Muslim)
وَعَنْ أَبِي
بَرْزَةَ الاسْلَمِيِّ قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ
اَلْعِشَاءِ, وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ
قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda
shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya.
(HR. Muttafaq ‘alaihi)
عن جَابِرٍ قال:
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ,
وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ,
وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau shallallahu 'alaihi
wasallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun
bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari
Muslim)
E. Waktu Shalat Yang Diharamkan
Ada lima waktu dalam sehari semalam yang diharamkan untuk dilakukan
shalat di dalamnya. Tiga di antaranya terdapat dalam satu hadits yang sama,
sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits lainnya.
عَنْ عُقْبَةَ
بْنِ عَامِرٍ ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يَنْهَانَا أَنْ
نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ نَقْبُرَ
فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ,
وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ
تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu
berkata,"Ada tiga waktu shalat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang
meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit hingga meninggi, [2]
ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit
ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam.
.(HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits berikut
ini :
وَعَنْ أَبِي
سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ
يَقُولُ: لا صَلاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ
اَلشَّمْسُ وَلا صَلاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak ada
shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat
sesudah shallat Ashar hingga matahari terbenam.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua waktu ini hanya melarang orang untuk melakukan shalat saja,
sedangkan masalah menguburkan orang yang wafat, tidak termasuk larangan. Jadi
boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh
sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore
hari.
Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan diurutkan, kita
akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan untuk melakukan
shalat, yaitu :
a. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi.
Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits Amru bin
Abasah adalah qaida-rumhin aw rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi
baru saja muncul dari balik horison setinggi satu tombak atau dua tombak. Dan
panjang tombak itu kira-kira 2,5 meter 7 dzira' (hasta). Atau 12 jengkal
sebagaimana disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah.
b. Waktu Istiwa`
Yaitu ketika matahari tepat berada di atas langit atau di
tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita. Tapi begitu
posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat
Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
c. Saat Terbenam Matahari
Yaitu saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang
menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi. Begitu terbenam,
maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat Maghrib atau pun
shalat sunnah lainnya.
d. Setelah Shalat Shubuh Hingga Matahari Terbit
Namun hal ini dengan pengecualian untuk qadha' shalat sunnah fajar
yang terlewat. Yaitu saat seseorang terlewat tidak melakukan shalat sunnah
fajar, maka dibolehkan atasnya untuk mengqadha'nya setelah shalat shubuh.
e. Setelah Melakukan Shalat Ashar Hingga Matahari Terbenam.
Maksudnya bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka haram
baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali ada
penyebab yang mengharuskan. Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib baginya
untuk shalat Ashar meski sudah hampir maghrib.
Bila Waktu Shalat Telah Lewat
Bila seseorang bangun kesiangan dari tidurnya dan belum shalat
shubuh, maka yang harus dilakukan adalahsegera shalat shubuh pada saat bangun
tidur. Tidak diqadha dengan zhuhur pada siangnya atau esoknya. Sebab kita telah
mendapatkan keterangan jelas tentang hal itu dari apa yang dialami oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau dan beberapa shahabat
pernah bangun kesiangan dan melakukan shalat shubuh setelah matahari meninggi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً
فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,"Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan
shalat) atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia
menyadarinya”. (HR Muttafaq alaihi)
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan shalat
shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya (tentunya
setelah bersuci terlebih dahulu), walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu
yang terlarang melaksanakan shalat. Karena pelarangan shalat pada waktu-waktu
tersebut berlaku bagi shalat-shalat sunnah muthlak yang tidak ada sebabnya.
Sedangkan bagi shalat yang memiliki sebab tertentu, seperti halnya orang yang
ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan shalat tersebut pada
waktu-waktu terlarang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ
قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْل
أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً
مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit
maka dia telah mendapatkan shalat tersebut (shalat shubuh)." (HR Bukhari
dan Muslim)
Salah satu rahasia untuk bisa bangun di waktu shubuh bukan memasang
alarm, tetapi dengan cara tidur di awal malam. Kebiasaan tidur terlalu larut
malam akan menyebabkan badan lesu dan juga sulit bangun shubuh.
Orang yang tidur di awal malam, pada jam 04.00 dini hari sudah
merasakan istirahat yang cukup. Secara biologis, tubuh akan bangun dengan
sendirinya, bergitu juga dengan mata.
Sebaliknya, orang yang tidur larut malam, misalnya di atas jam
24.00, sulit baginya untuk bangun pada jam 04.00 dini hari. Sebab secara
biologis, tubuhnya masih menuntut lebih banyak waktu istirahat lebih banyak.
Tapi yang paling utama dari semua itu adalah niat yang kuat di
dalam dada. Ditambah dengan kebiasaan yang baik, dimana setiap anggota keluarga
merasa bertanggung-jawab untuk saling membangunkan yang lain untuk shalat
shubuh.
Kalau mau memasang alarm, letakkan di tempat yang mudah terjangkau,
deringnya cukup lama dan harusa memekakkan telinga. Jangan diletakkan di balik
bantal, karena biasanya dengan mudah bisa dimatikan lalu tidur lagi. □
Adzan Sebelum Shalat
A. Perngertian Adzan
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau
pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat
manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas
diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu bertobat, maka bertaubat
itu lebih baik bagimu. dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada
orang-orang kafir siksa yang pedih.(QS. At-Taubah : 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini
digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan
kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً
وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Sedangkan secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu
untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.
Sedangkan dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu
pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
B. Pensyariatan Adzan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari al-Quran,
As-sunnah dan ijma` para ulama.
Dalil dari Al-Quran
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا
هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
Dalil dari sunnah :
وَعَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا اَلنَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ اَلصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ
لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami,"Bila waktu shalat telah
tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan".(HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ
فَقَالَ: تَقُولُ: "اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ, فَذَكَرَ اَلاذَانَ
- بِتَرْبِيع اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ, وَالاقَامَةَ فُرَادَى, إِلاَّ قَدْ
قَامَتِ اَلصَّلاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..."
Dari Abdullah bin Zaid bin
Abdirabbihi berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru :
“Allahu akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir
tanpa tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya
Aku datangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau
bersabda,"Itu adalah mimpi yang benar, Insya Allah. Pergilah kepada Bilal
dan sampaikan apa yang kamu lihat dalam mimpi. Sesungguhnya Bilal itu suaranya
lebih terdengar dari suaramu". (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi
sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis
langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana
disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya
di antara para penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang
shahih adalah bahwa adzan pertama kali berkumandang di Madinah sebagaimana
hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.
C. Keutamaan Adzan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang
tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah
orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau berlu mereka melakukan undian untuk
sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الاآذَانِ
وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا
رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan
berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa
mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara
mereka.."(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat,
orang yang mengumandangkan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan
kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّ النّبِيَّ قَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ
أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه
Dari Muawiyah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang
adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat".
(HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muazzin
(orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam
shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini
adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi
dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka
mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang
yang mengumandangkan Adzan. Alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan
bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila
kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
D. Hukum Adzan
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah
muakkadah, yaitu bagi laki-laki yang
dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan untuk
mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha, shalat
tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya digunakan
seruan dengan lafaz "Ash-shalatu jamiatan" (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits
berikut :
Dari Abdullah bin Amru
radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kepada orang-orang diserukan :
"Ash-shalatu Jami`atan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan hanyalah
iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh sebab
untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun
dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
E. Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
a. Telah masuk waktu shalat
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat,
maka Adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi Adzannya.
Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa
Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam. adzan yang pertama sebelum masuk waktu
shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan
yang menandakan masuknya waktu shubuh. Yaitu pada saat fajar shadiq sudah
menjelang.
b. Harus dengan bahasa arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab
adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan
atau menandakan masuknya waktu shalat.
c. Dilakukan oleh satu orang
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu
orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, maka hal itu tidak sah.
Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan,
dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin.
Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.
d. Yang mengumandangkannya harus seorang muslim, laki-laki, akil
dan baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non muslim, wanita, orang
tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban
ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh fasik,
bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik. Al-Malikiyah
mengatakan bahwa dia harus adil.
e. Harus tertib lafaznya
Tidak boleh terbolak balik dalam mengumandangkan Adzan. Namun para
ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya
wudhu` juga tidak diharuskan menghadap kiblat, juga tidak diharuskan berdiri.
Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang
mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di
masa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal radhiyallahu ‘anhu
mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid,
shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas
perintah nabi juga.
F. Sunnah Adzan
Hal-hal yang disunnahkan dalam masalah adzan adalah berikut ini :
a. Yang mengumandangkan
adzan dianjurkan orang yang bersuara lantang dan bagus. Juga merupakan orang
yang shalih, terpercaya, mengetahui waktu-waktu shalat dengan baik dan sudah
akil baligh.
b. Dilakukan di tempat yang
tinggi dekat masjid agar bisa lebih jauh terdengar.
c. Dilakukan dengan berdiri
dan dalam kondisi berwudhu`. Juga dianjurkan untuk meletakkan jarinya di
telinganya agar kuat bersuara lantang. Juga disunnahkan menghadap ke kiblat
kecuali pada lafaz Hayya `alash shalah dan hayya `alal falah, disunnahkan untuk
memalingkan badan ke kanan dan ke kiri tanpa menggeser kakinya. Dalilnya adalah
hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ: رَأَيْتُ بِلالاً يُؤَذِّنُ وَأَتَتَبَّعُ
فَاهُ هَاهُنَا وَهَاهُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
وَصَحَّحَهُ
Dari Abi Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat
Bilal mengumandangkan adzan dan mulutnya ke kanan dan ke sana dan kesini dan
kedua jarinya berada pada kedua telinganya."(HR. Ahmad dan Tirmizy)
وَلابْنِ مَاجَهْ: وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْه
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan : Dan dia meletakkan jarinya
berada pada telinganya.
وَلأَبِي دَاوُدَ: لَوَى عُنُقَهُ, لَمَّا بَلَغَ
"حَيَّ عَلَى اَلصّلاةِ " يَمِينًا وَشِمَالاً وَلَمْ يَسْتَدِرْ وَأَصْلُهُ
فِي اَلصَّحِيحَيْنِ
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan : beliau memalingkan lehernya
ketika mengucapkan Hayya `alash shalah ke kanan dan ke kiri tapi tidak
berputar.
d. Dilakukan di awal waktu shalat sehingga orang-orang bisa
melakukan shalat lebih awal.
G. Adzan Selain untuk Shalat
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama kontemporer abad 20 menuliskan dalam
kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu
bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada
beberapa even kejadian lainnya, seperti :
a. Adzan untuk bayi yang
baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga
kirinya.
b. Pada waktu terjadi
kebakaran
c. Pada waktu terjadi
peperangan
d. Juga adzan
dikumandangkan pada seseorang yang terkena pengaruh jin dan syetan (kesurupan).
Sebab syetan akan lari bila mendengar suara Adzan.
e. Juga dikumandangkan di
bagian belakang orang yang akan bepergian (musafir).
Namun menurut pendapat mazhab Asy-Syafi`i yang muktamad, adzan
tidak disunnahkan ketika memasukkan mayat ke dalam kuburnya. Ini berbeda dengan
praktek umumnya masyarakat di negeri ini yang melakukan pendapat Asy-Syafiiyah
yang tidak muktamad.□
SYARAT-SYARAT SHALAT
Syarat
shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah ibadah shalat.
Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan. Bila salah satu dari
syarat ini tidak terdapat, maka shalat itu menjadi tidak sah hukumnya.
Syarat
shalat itu ada dua macam. Pertama, syarat wajib. Yaitu syarat yang bila
terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan shalat. Kedua, syarat sah.
Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah shalat itu menjadi sah hukumnya.
A. Syarat
Wajib
Bila
semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi seseorang yang telah memenuhi
syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat. Sebaliknya, bila salah satu dari
syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia belum diwajibkan untuk melakukan
shalat.
Adapun
yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah hal-hal berikut ini.
1. Beragama
Islam
Seseorang
harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya beban kewajiban shalat. Selama
seseorang belum menjadi seoarang muslim, maka tidak ada beban kewajiban shalat
baginya.
Tidak
ada konsekuensi hukuman buat non muslim bila tidak mengerjakan shalat di dunia
ini. Namun meski demikian, di akhirat nanti dia tetap akan disiksa dan dibakar
di neraka. Sedangkan seorang muslim bila tidak shalat, selain disiksa di
akhirat, di dunia ini pun harus dijatuhi hukuman oleh pemerintah Islam atau
mahkamah syar`iyah. Itulah yang membedakan antara kewajiban shalat seorang
muslim dengan non muslim.
Namun
bila ada seorang kafir yang masuk Islam, tidak ada kewajiban untuk mengqadha`
shalat yang selama ini ditinggalkannya. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ
لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الاوَّلِينَ
Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka berhenti , niscaya Allah
akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika
mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah orang-orang dahulu
".(QS. Al-Anfal : 38)
Dan
juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya
:
عَن عَمْرُو بْنِ
الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَه
رواه أحمد
Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Keislaman seseorang akan
menghapus semua dosa sebelumnya". (HR. Ahmad, At-Tabarany dan Al-Baihaqi).
Namun
sebaliknya, bila ada seorang muslim murtad dari agama Islam. Lalu masuk lagi ke
dalam agama Islam, maka shalat yang pernah ditinggalkannya wajib digantinya
dengan qadha`. Sebagai hukuman untuknya dan juga karena kekufurannya sesaat itu
tidak lah menggugurkan kewajibannya kepada Allah. Persis seperti hutang
seseorang kepada sesama manusia. Tetap wajib dibayarkan meski seseorang murtad
dari Islam.
Namun
menurut pendapat kalangan Al-Hanafiyah, orang yang murtad tidak wajib untuk
mengqadha` shalat yang ditinggalkannya, lantaran pada hakikatnya dia adalah
seorang non muslim yang tidak wajib shalat.
2.
Baligh
Seorang
anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib shalat. Dasarnya adalah
sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا عَنْ اَلنَّبِيِّ قَالَ: رُفِعَ اَلْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ اَلصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ اَلْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ أَوْ يَفِيقَ رَوَاهُ أَحْمَدُ
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu dan Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Pena telah diangkat dari tiga orang, dari seorang yang tidur
hingga terjaga, dari seorang anak kecil hingga mimpi dan dari seorang gila
hingga waras "(HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Hakim)
Meskipun
demikian, seorang anak kecil yang belum baligh tetap dianjurkan untuk
diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila
masih belum mau mengerjakannya setelah berusia 10 tahun. Dalilnya adalah hadits
berikut ini :
عَنْ عَمْرُو بْنِ
شُعَيبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ
سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فيِ
المَضَاجِعِ رواه أحمد وأبو داود
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Perintahkanlah
anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun. Dan
pisahkan tempat tidur mereka (anak-anak laki dan anak-anak perempuan)".(HR.
Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim)
Namun
perintah ini bukan untuk anak melainkan kepada para orang tua, yakni mereka
diwajibkan untuk memerintahkan anaknya shalat pada usia 7 tahun. Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki
kepadamu. Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa.".(QS. Thaha :
132)
2. Berakal
Orang
yang tidak waras seperti gila, ayan dan berpenyakit syaraf tidak wajib
mengerjakan shalat. Sebab orang yang demikian tidak sadar diri dan tidak mampu
berpikir. Maka tidak ada beban kewajiban beribadah atas dirinya. Kewajiban
shalat hanya ada pada saat mereka sadar dan waras, dimana terkadang memang
seseorang tidak selamanya gila atau hilang akal. Namun begitu ketidak-sadaran
atas dirinya datang, maka dia tidak wajib mengerjakan shalat.
Menurut
jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat hilang kewarasannya, begitu
sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha` shalat. Namun hal itu berbeda
dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru mewajibkannya mengqadha`
shalat.
Sedangkan
bila hilang akal dan kesadaran karena seseorang mabuk, maka dia wajib
mengqadha` shalatnya, karena orang yang mabuk tetap wajib shalat. Demikian juga
hal yang sama berlaku pada orang yang tidur, begitu dia bangun, wajiblah
atasnya mengqadha` shalat yang terlewat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : مَنْ نَسِيَ
صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Orang yang lupa shalat hendaklah segera shalat begitu ingat.
Tidak ada kaffarah atasnya kecuali hanya melakukan shalat itu saja".(HR.
Bukhari dan Muslim)
Tiga
hal di atas adalah syarat-syarat wajib shalat, dimana bila syarat itu terpenuhi
pada diri seseorang, wajiblah atasnya untuk melakukan shalat.
B. Syarat
Sah Shalat
Sebagaimana
dijelaskan di atas, syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus terpenuhi
sebelum seseorang mengerjakan shalat agar shalatnya menjadi sah hukumnya.
Diantaranya adalah :
1. Mengetahui
Bahwa Waktu Shalat Sudah Masuk
Bila seseorang melakukan shalat tanpa pernah tahu apakah waktunya
sudah masuk atau belum, maka shalatnya itu tidak memenuhi syarat. Sebab
mengetahui dengan pasti bahwa waktu shalat sudah masuk adalah bagian dari
syarat sah shalat.
Bahkan meski pun ternyata sudah masuk waktunya, namun shalatnya itu
tidak sah lantara pada saat shalat dia tidak tahu apakah sudah masuk waktunya
atau belum.
Tidak ada bedanya, apakah seseorang mengetahui masuknya shalat
dengan yakin atau sekedar berijtihad dengan dasar yang kuat dan bisa diterima.
Dasar keharusan adanya syarat ini adalah firman Allah SWT :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
2. Suci
dari Hadats Besar dan Kecil
Hadats besar adalah haidh, nifas dan janabah. Dan untuk mengangkat
/ menghilangkan hadats besar harus dengan mandi janabah. Sedangkan hadats kecil
adalah kondisi dimana seseorang tidak punya wudhu atau batal dari wudhu`nya.
Dan untuk mengangkat hadats kecil ini bisa dilakukan dengan wudhu` atau
bertayammum. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ
مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْوَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.. (QS. Al-Maidah : 6)
Selain itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berikut ini :
عَنِ ابنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله قاَلَ : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ
طَهُوْرٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat tanpa
thaharah".(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُول الله قَال : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَة امرِءٍ
مُحْدِثٍ حَتَّى يَتَوَضَأ
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Allah tidak menerima shalat seorang kamu bila berhadats sampai
dia berwudhu`"(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmizy).
3. Suci
Badan, Pakaian dan Tempat Shalat Dari Najis
Tidak sah seseorang shalat dalam keadaan badannya terkena najis,
atau pakaiannya atau tempat shalatnya. Sebelum berwudhu, wajiblah atasnya untuk
menghilangkan najis dan mencucinya hingga suci. Setelah barulah berwudhu` untuk
mengangkat hadats dan mulai shalat. Dalil keharusan Sucinya badan dari najis
adalah
###
"Bila kamu mendapat
haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan bila telah usai haidh, maka cucilah darah
dan shalatlah".(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil keharusan sucinya
pakaian dari najis adalah firman Allah SWT :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu, bersihkanlah".(QS. Al-Muddatstsir : 4)
Ibnu Sirin mengatakan bahwa makna ayat ini adalah perintah untuk
mencuci pakaian dengan air.
Dalil keharusan sucinya
tempat shalat dari najis
Hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di dalam
masjid. Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk
menyiraminya dengan seember air.
"Siramilah pada bekas kencingnya dengan seember air".(HR.
)
4. Menutup
Aurat
Tidak sah seseorang melakukan shalat bila auratnya terbuka, meski
pun dia shalat sendirian jauh dari penglihatan orang lain. Atau shalat di
tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan shalat
adalah firman Allah SWT berikut ini :
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid ,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.".(QS. Al-A`raf : 31)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa yang dimaksud dengan
perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup aurat.
Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita memakai
khimar pada saat shalat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ
إِلاَّ بِخِمَارٍ رواه الخمسة إلا النسائي
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,"Tidak sah shalat seorang wanita yang sudah mendapat
haidh kecuali dengan memakai khimar.(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai).
Khimar adalah kerudung yang menutup kepala seorang wanita.
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Asma`,
bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali
ini dan ini". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk kepada
wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud - hadits mursal).
Kewajiban menutup aurat ini berlaku bagi setiap wanita yang sudah
haidh baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Kecuali di dalam rumahnya
yang terlinding dari penglihatan laki-laki yang bukan mahramnya.
5. Menghadap
ke Kiblat
Tidak sah sebuah ibadah shalat manakala tidak dilakukan dengan
menghadap ke kiblat. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا
يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan dari mana saja kamu, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku . Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk.(QS. Al-Baqarah : 150)
Pengecualian
Namun syarat harus menghadap ke kiblat ini tidak mutlak, karena
masih ada beberapa pengecualian karena ada alasan yang memang tidak mungkin
dihindari.
Pertama : shalat khauf
Dibolehkan tidak menghadap kiblat pada saat shalat khauf, yaitu
shalat yang dilakukan pada saat perang menghadapi musuh. Maka bolehlah tidak
menghadap kiblat tetapi malah menghadap ke arah dimana musuh berada. Kebolehan
ini karena memang telah dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan telah dijelaskan teknisnya dalam hadits-hadits nabawi.
Kedua : shalat nafilah
Boleh tidak menghadap kiblat` pada saat shalat sunnah (nafilah) di
atas kendaraan. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melakukannya.
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ
بِهِ رواه البخاري ومسلم ، وزاد البخاري : يُوْمِئُ والترمذي : وَلمَ يَكُنْ يَصْنَعُهُ
فيِ المَكْتُوبَةِ
Dari Amir bin Rabiah
radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat di atas untanya dengan menghadap kemana pun arah untanya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari menambahkan : “beliau membungkuk (saat rukuk dan sujud)”.
At-Tirmizy berkata,”Namun beliau tidak melakukanya pada shalat wajib”.
Ketiga : dalam keadaan sakit
Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah memberikan kelonggaran lainnya yaitu
bila seseorang dalam keadaan sakit yang parah dan membuatnya tidak bisa berubah
posisi menghadap ke kiblat. Pada kondisi demikian, maka dibolehkan baginya
shalat menghadap kemana saja yang dia mampu melakukannya.
Keharusan Berijtihad
Bila seseorang tidak tahu kemana arah kiblat, maka wajiblah baginya
mencari tahu sebisanya dan berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mendapatkan
informasi tentang arah kiblat. Meski pun hasilnya bisa berbeda-beda karena
minimnya informasi. Hal itu tidak mengapa asalkan sudah berijtihad sebelumnya.
Sebab dahullu para shahabat pernah mengalami kejadian dimana mereka shalat pada
malam yang sangat gelap tanpa sinar sedikitpun dan juga tidak tahu arah kiblat.
Lalu akhirnya mereka shalat menghadap ke arah apa yang mereka hayalkan saja.
Saat Rasulullah diberitahu hal itu, beliau membaca firman Allah SWT :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 115)□
Rukun-rukun Shalat
Rukun adalah pondasi atau tiang pada suatu banguna. Bila salah satu
rukunnya rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila salah satu
rukun shalat tidak dilakukan atau tidak sah dilakukan, maka keseluruhan rangkaian
ibadah shalat itu pun menjadi tidak sah juga.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan
yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah.
Sedangkan syarat adalah gerakan ibadah yang wajib dilakukan namun bukan bagian
dari rangkaian gerakan ibadah.
A. Perbedaan Ulama Dalam Menentukan Rukun Shalat
Para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya
ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat
hanya ada 6 saja. Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat ada 14
perkara. As-Syafi`iyah menyebutkan 13 rukun shalat dan Al-Hanabilah menyebutkan
14 rukun.
Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini yang
kami buat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. WAhbah
Az-Zuhaily.
Table Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab
No Gerakan / Bacaan Hanafi Malik Syafi`i Hambali
1. Niat x rukun rukun x
2. Takbiratul-ihram rukun rukun rukun rukun
3. Berdiri rukun rukun rukun rukun
4. Membaca Al-Fatihah rukun rukun rukun rukun
5. Ruku` rukun rukun rukun rukun
6. I`tidal (bangun dari
ruku`) x rukun rukun rukun
7. Sujud rukun rukun rukun rukun
8. Duduk Antara Dua Sujud x rukun rukun rukun
9. Duduk Tasyahhud Akhir rukun rukun rukun rukun
10. Membaca Tasyahhud Akhir x rukun rukun rukun
11. Membaca Shalawat Atas
Nabi x rukun rukun rukun
12. Salam x rukun rukun rukun
13. Tertib x rukun rukun rukun
14. Tuma`ninah x rukun x rukun
B. Rincian Rukun Shalat
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram maknanya adalah ucapan takbir yang menandakan
dimulainya pengharaman. Yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal
menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat. Seperti makan,
minum, berbicara dan sebagainya.
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
"dan Tuhanmu
agungkanlah! (Bertakbirlah untuknya)" (QS. Al-Muddatstsir : 3)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا
التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Khamsah kecuali An-Nasai)
Dari Rufa`ah Ibnu Rafi`
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat
serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu
mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)
"Bila kamu shalat maka
bertakbirlah". (HR. Muttafaqun Alaihi)
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah zikir yang
murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang
Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah
menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain
selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah shalat
terpenuhi. Yaitu sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan, pakaian
dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu bahwa
waktu shalat sudah masuk dan lainnya.
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat
ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ :إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ
بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا رواه الشيخان
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya.
Bila dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi)
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir
bersama-sama dengan imam
2. Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat dengan dalil berdasarkan firman Allah
SWT :
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
"...Berdirilah untuk
Allah dengan khusyu'." (QS. Al-Baqarah : 238)
Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk shalat
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ رواه البخاري
Dari `Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah
dengan berdiri, bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup
sambil berbaring".(HR. Bukhari)
Hadits ini juga sekaligus
menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu berdiri.
Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tidak wajib berdiri. Misalnya
orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama sekali,
cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah. Atau dengan
mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah. Bahkan
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan anggota
tubuh itu di dalam hati.
Juga perlu diperhatikan bahwa kewajiban berdiri dalam shalat hanya
berlaku untuk shalat fardhu saja. Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah) tidak
diwajibkan berdiri meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan
melakukan shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat
dan mampu berdiri.
Para fuqaha mazhab sepakat mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud
adalah berdiri tegak. Tidak boleh bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau
tembok, kecuali buat orang yang tidak mampu. Terutama bila tongkat atau
temboknya dipisahkan, dia akan terjatuh. Adapun As-Syafi`iyah tidak mengharamkan
melainkan hanya memakruhkan saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri
tegak tanpa bersandar kepada benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja.
Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah dibolehkan bersandar.
3. Membaca Al-Fatihah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah
rukun shalat, dimana shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya. Dengan dalil
kuat dari hadits nabawi :
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca
ummil-quran"(HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)
a. Mazhab As-Syafi`i
Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk
membaca surat Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan
bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Kerena itu
mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus
mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca
sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat
Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam
sedang ruku`. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah
terhitung mendapat satu rakaat.
b. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang
makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk
tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah
dianggap menjadi bacaan makmum.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa Al-Fatihah itu
bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah boleh. Sebab
yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah semua hal yang
wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib dikerjakan dalam shalat
wajib maupun shalat sunnah. Sehingga dalam tolok ukur mereka, membaca surat
Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal
tidak membaca Al-Fatihah tapi sah shalatnya. Bahkan makmum shalat dimakruhkan
untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa yang
diucapkan imam.
Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran diperintahkan
membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
...maka bacalah apa yang
mudah dari Al Qur'an (QS. Al-Muzzamil : 20)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidak sah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran".(HR.
Muslim)
Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan
Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma
nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun, dha` dan
ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan minimal
harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang panjangnya kira-kira
sama dengan tiga ayat yang pendek.
Bacaan Basmalah : Khilaf para ulama, apakah bagian dari Al-Fatihah
atau bukan?
Menurut mazhab As-Syafi`iyah, lafaz basmalah
(bismillahirrahmanirrahim) adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga wajib
dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا قَرَأْتُمْ اَلْفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا
: ( بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ ) , فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu membaca alhamdulillah (surat
Al-Fatihah), maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena Al-Fatihah itu
ummul-Quran`, ummul-kitab, sab`ul-matsani. Dan bismillahirahmanir-rahim adalah
salah satu ayatnya". (HR. Ad-Daruquthuny).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu` ada 6
orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari
surat Al-Fatihah.
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari
surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib
maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari
surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan
saja (sirr). Bila kita perhatikan imam masjidil al-haram di Mekkah, tidak
terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya umumnya orang-orang disana
bermazhab Hanbali.
4. Ruku`
Ruku` adalah gerakan
membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki.
Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan
meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak
karena kelurusan punggungnya.
Perintah untuk melakukan rukuk adalah firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(QS. Al-Hajj : 77)
Dan juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut
ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُهُ إِذَا رَكَعَ
أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata,"Aku melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
ruku` meletakkan tangannya pada lututnya." (HR. Muttafaqun Alaihi)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila ruku` tidak
mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara keduanya".
Untuk sahnya gerakan ruku`, posisi seperti ini harus terjadi dalam
beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku` tapi
langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada posisi
ruku` yang disebut dengan istilah thuma`ninah. Dalilnya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ أَنّ الَّنِبيَّ قَالَ أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي
يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ
مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا
رواه أحمد والحاكم
Dari Abi Qatadha berkata
bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pencuri yang paling
buruk adalah yang mencuri dalam shalatnya". Para shahabat
bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dalam shalat?".
"Dengan cara tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya". atau beliau
bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai lurus ketika ruku` dan
sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarany, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban)
Para ulama fiqih menyebutkan bahwa perbedaan ruku`nya laki-laki dan
wanita adalah pada letak tangannya. Laki-laki melebarkan tangannya atau
merenggangkan antara siku dengan perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya,
mendekatkan tangannya ke tubuhnya .
5. I`tidal
I`tidal adalah gerakan bangun dari ruku` dengan berdiri tegap dan
merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.
Kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama mereka.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i`tidal tidak termasuk rukun shalat,
melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i`tidal hanyalah konsekuensi dari
tuma`ninah. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku` dan
sujud tanpa menyebutkan i`tidal.
"Dan ruku` lah dan
sujudlah" (QS. Al-Hajj : 77)
Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang lainnya
mengatakan bahwa i`tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan.
Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i`tidal maka shalatnya batal dan
tidak sah.
6. Sujud
Secara bahasa, sujud berarti
al-khudhu` (الخضوع)
at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar`i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur
ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak
tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud kepada
Allah SWT. Dasarnya adalah hadits nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ
أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ
, وَالرُّكْبَتَيْنِ , وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas ra
berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah
(dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak
kaki.(HR. Bukhari dan Muslim (
Manakah yang lebih dahulu diletakkan, lutut atau tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun
menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di
kalangan ulama.
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud
adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua
tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang
diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar
dari praktek ini adalah hadits berikut ini.
عَنْ وَائِل بن حُجْر قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ
الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ
قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه الخمسة إلا أحمد
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum
mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunahkan
untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua
lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ قال قال رسول الله إِذَا سَجَدَ
أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّرُكْبَتَيْهِ-رواه
أحمد والنسائي والترمذي
Dari Abi Hurariah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasululah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti
duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru
kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang
meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan
bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya. Maka demikianlah para
ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan
sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih
rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan
sama-sama bisa dilakukan.
7. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama dan hanya
merupakan kewajiban menurut Al-Hanafiyah. Posisi duduknya adalah duduk iftirasy,
yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki kiri.
Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan
dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat.
Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan
menjulurkan jari-jarinya.
8. Duduk Tasyahhud Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama
dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk
tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy
namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki
kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri
seperti pada iftirasy.
Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk
duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan
posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy. Dalilnya adalah hadits
berikut :
عَنْ وَائِل بنِ حجر قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ
إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَسَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ
يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى – رواه الترمذي
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau duduk
(tasyahhud), beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha
kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)
Ada pun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab
Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud
awal maupun untuk tasyahhud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi : Dari Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk
tawaruk.
9. Salam Pertama
Ada dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Salam pertama adalah
fardhu shalat menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan
salam yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu,
kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur.
Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja .
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang juga
berfungsi sebagai penutup shalat. Dalilnya adalah :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا
التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Muslim)
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja. Sedangkan menurut
Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tidak disunnahkan untuk meneruskan lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah,
dengan dalil :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى
بَيَاضَ خَدِّهِ - رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memberi salam ke kanan dan ke kiri : Assalamu ‘alaikum
warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah, hingga nampak pipinya yang
putih. (HR. Khamsah)
Selain sebagai penutup shalat, salam ini juga merupakan doa yang
disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya, bila
tidak ada maka diniatkan kepada jin dan malaikat.
10. Thuma`ninah
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan ruku’,
i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud .
عَنْ حُذَيْفَة أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ
رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَة:
مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ
عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – رواه أحمد والبخاري
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau melihat seseorang yang tidak
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya, beliau
memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu belum shalat, bila kamu mati
maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah Allah tetapkan di atasnya
risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari)
11. Tertib
Sunnah-sunnah Shalat
1. Mengangkat kedua tangan saat takbiratul Ihram
Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa disunnahkan untuk
mengangkat tangan saat takbiratul ihram, yaitu setinggi kedua pundak. Dalilnya
adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya saat
memulai shalatnya (HR. Muttafaq 'Alaihi)
Dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa laki-laki mengangkat tangan
hingga kedua telinganya sedangkan wanita mengangkat sebatas pundaknya saja.
Dalilnya adalah :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat,
lalu bertakbir dan meluruskan kedua tanggannya setinggi kedua telinganya.(HR.
Muslim)
Dari Al-Barra' bin Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bila shalat mengangkat kedua tanggannya hingga kedua jempol tangannya
menyentuh kedua ujung telinganya (HR. Ahmad, Ad-Daruquthny)
Sedangkan Al-Hanabilayh menyebutkan bahwa seseorang boleh memilih
untuk demikian atau mengangkat tangannya hingga kedua ujung telinganya.
Dalilnya adalah bahwa keduanya memang punya dasar hadits yang bisa dijadikan
sandaran. Saat mengangkat kedua tangan, dianjurkan agar jari-jari terbuka tidak
mengepal, sebagaimana pendapat jumhur. Serta menghadap keduanya ke arah kiblat.
2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
Jumhur ulama selain Al-Malikiyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk
meletakkan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri. Dalilnya adalah hadits
berikut ini :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat,
lalu bertakbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tapak tangan kirinya,
atau pergelangannya atau lengannya (antara siku hingga pergelangan tangan)(HR.
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i)
Sedangkan dimana diletakkan kedua tangan itu, para ulama sejak
dahulu memang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan di bawah pusat, ada juga
yang mengatakan di antara dada dan pusat, dan ada juga yang mengatakan di dada.
a. Di bawah pusat
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah pusat
diantaranya adalah Al-Hanafiyah, dengan landasan hadits berikut ini :
Diriwayatkan dari Ali bin abi Thalib ra,"Termasuk sunnah
adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada praktek
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana beliau
menyaksikannya.
b. Di antara pusat dan dada
Diantara yang berpendapat demikian adalah Asy-syafi'iyah. Dan bahwa
posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi
tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Dalilnya adalah hadits berikut
ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ فَوَضَعَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ
اَلْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ أَخْرَجَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu berakta,”Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dan meletakkan kedua tangannya
di atas dada.(HR. Ibnu Khuzaemah)
Sedangkan Al-Malikiyah tidak menganggap meletakkan tangan di atas
dada dan lainnya itu sebagai sunnah. Bagi mazhab ini, posisi tangan dibiarkan
saja menjulur ke bawah. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu kurang disukai
bila dilakukan di dalam shalat fardhu 5 waktu, namun dibolehkan bila dilakukan
dalam shalat sunnah (nafilah).
3. Melihat ke tempat sujud
As-Syafi'iyah dan para ulama lainnya mengatakan bahwa melihat ke
arah tempat sujud adalah bagian dari sunnah shalat. Sebab hal itu lebih dekat
ke arah khusyu'. Selain itu memang ada dalilnya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat, tidak melihat kecuali ke arah
tempat sujudnya. (Hadits Dhaif, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini tidak
diketahuinya)
Kecuali saat tahiyat, maka pandangan diarahkan ke jari tangan
kanannya. Sebagaimana hadits berikut :
Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu bahwa apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan
tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas
tangan kirinya lalu menunjuk dengan telunjuknya dan pandangan matanya tidak
lepas dari telunjuknya itu". (HR. Ahmad, An-Nasai, Abu Daud)
4. Doa istiftah (doa tsana`)
Doa istiftiftah juga seringkali disebut dengan doa iftitah atau
do'a tsana'. Semuanya merujuk pada lafadz yang sama. Hukum membacanya adalah
sunnah menurut jumhur ulama, kecuali Al-Malikiyah yang menolak kesunnahannya.
Sedangkan lafadznya memang sangat banyak versinya. Dan bisa
dikatakan bahwa semuanya bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ , تَبَارَكَ اِسْمُكَ , وَتَعَالَى جَدُّكَ , وَلا إِلَهُ غَيْرُكَ رَوَاهُ
مُسْلِمٌ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ مَوْصُولاً وَهُوَ مَوْقُوفٌ
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam membaca : “Maha suci Engaku dan segala puji untuk-Mu. Diberkahilah
asma-Mu, tinggilah keagungan-Mu. Dan tiada tuhan kecuali Engkau.(HR. Muslim)
Lafaz ini diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahu ‘anhu dengan perawi
Abu Daud dan Ad-Daruquthuny.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى اَلصَّلاةِ
قَالَ : "وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَّرَ اَلسّمَوَاتِ " . . . إِلَى
قَوْلِهِ : "مِنْ اَلْمُسْلِمِينَ , اَللَّهُمَّ أَنْتَ اَلْمَلِكُ لا إِلَهَ
إِلا أَنْتَ , أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ . . . إِلَى آخِرِهِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bila berdiri untuk shalat membaca
:”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan
lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan
semesta alam.Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku
termasuk bagian dari orang-orang muslim.(HR. Muslim)
Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti Imam
Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz ini
sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, kecuali
bagian terakhir tanpa kata "awwalu".
Selain itu juga ada lafdaz lainnya seperti di bawah ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً
, قَبْلِ أَنْ يَقْرَأَ , فَسَأَلْتُهُ , فَقَالَ : "أَقُولُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ
بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ,
اَللَّهُمَّ نقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى اَلثَّوْبُ اَلابْيَضُ مِنْ اَلدَّنَسِ
, اَللَّهُمَّ اِغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bila bertakbir memulai shalat, beliau diam sejenak
sebelum mulai membaca (Al-Fatihah). Maka aku bertanya padanya dan beliau
menjawab,”Aku membaca : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan
kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engaku mensucikan
pakaian dari kotoran. Ya Allah, mandikan aku dengan air, salju dan embun".
(HR. Muttafaq ‘alaihi)
5. Mengucapkan Amin
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini
وَعَنْ نُعَيْمٍ اَلْمُجَمِّرِ قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ
فَقَرَأَ : (بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ) . ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ
, حَتَّى إِذَا بَلَغَ : (وَلا اَلضَّالِّينَ) , قَالَ : "آمِينَ" وَيَقُولُ
كُلَّمَا سَجَدَ , وَإِذَا قَامَ مِنْ اَلْجُلُوسِ : اَللَّهُ أَكْبَرُ . ثُمَّ يَقُولُ
إِذَا سَلَّمَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لاشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ
اَللَّهِ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
وَابْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Nu;aim Al-Mujammir radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku shalat di
belakang Abu Hurairah, beliau membaca : bismillahirrahmanirrahim. Kemudian
beliau membaca ummul-quran (Al-Fatihah), hingga beliau sampai kata
(waladhdhaallin) beliau mengucapkan : Amien. Dan beliau mengucapkannya setiap
sujud. Dan bila bangun dari duduk mengucapkan : Allahu akbar. Ketika salam
beliau berkata : Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, aku adalah orang yang
paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR.
An-Nasai dan Ibnu Khuzaemah).
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Apabila imam mengucapkan
"Amien", maka ucapkanlah juga. Siapa yang amin-nya bersamaan dengan
ucapan amin para malaikat, maka Allah mengampunkan dosa-dosanya yang telah
lampau.(HR. Jamaah kecuali At-Tirmizy)
6. Merenggangkan kedua tumit
Disunnahkan merenggangkan kedua tumit saat berdiri kira-kira
selebar 4 jari. Sebab posisi yang demikian sangat dekat dengan khusyu'.
Sedangkan Imam As-syafi'i mengatakan bahwa jaraknya kira-kira sejengkal. Dan
makruh untuk menempelkan keduanya karena menghilangkan rasa khusyu'.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan disunnahkan
untuk merenggangkannya tapi tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat.
7. Membaca sebagian surat Quran setelah membaca Al-Fatihah
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaatnya
yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat
pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Terkadang beliau mendengarkan ayat.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Ashar pada dua
rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya
di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Dan beliau beliau
memanjangkannya di rakaat pertama shalat shubuh dan memendekkannya di rakaat
kedua. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dari Abu Bazrah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat shubuh dari 60-an ayat hingga
100-an ayat.". (HR. Muttafaqun 'alaihi)
8. Takbir ketika ruku`, sujud, bangun dari sujud dan berdiri dari sujud.
Dasrnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri
atau duduk". (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan status shahih).
Kecuali pada saat bangun dari ruku', maka bacaannya adalah
"Sami'allahu liman hamidah". Maknanya, Allah Maha Mendengar orang
yang memuji-Nya.
9. Meletakkan kedua lutut lalu kedua tangan kemudian wajah ketika
turun sujud dan sebaliknya
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Kedua pendapat yang anda
tanyakan itu masing-masing memiliki dalil dari hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Baik yang mengatakan tangan dulu baru lutut atau yang
sebaliknya, lutut dulu baru tangan.
Pendapat Pertama: Tangan lebih dulu.
Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”bila kamu sujud, maka janganlah duduk seperti cara duduknya
unta. Hendaklah dia meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya.
Para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum
lutut diantaranya adalah: Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan
Al-auza‘i.
Pendapat Kedua: Lutut lebih dulu. Dari Wail bin Hujr berjata,”Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkanb kedua lututnya
sebelum tangannya.
Sedangkan para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu
sebelum lutut diantaranya adalah: mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam
Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat mazhab Imam Malik.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang
diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut karena menurut anggapa nmereka hadits
yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan.
Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan
dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebhi dahulu. Hal ini justru
bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu
baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya
seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada
kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-bukhari ini. Yaitu tebaliknya
perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih
dahulu bahru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafaz dalam hadits bukan
hal yang tidak mungkin.
10. Sunnah dalam sujud
Disunnahkan untuk memperbanyak doa pada saat sujud. Dengan dalil
sunnah beriku ini.
Seorang hamba terdekat dengan tuhannya pada saat sedang sujud, maka
perbanyaklah doa pada saat sujud itu, pastilah akan dikabulkan".(HR.
Muslim)
Dari Abi Said radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Muaz, bila kamu meletakkan wajahmu dalam
sujud, katakanlah : Ya Allah, tolonglah aku untuk bersyukur dan beribadah
dengan baik kepada-Mu."
11. Doa saat duduk di antara dua sujud
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah, doa
yang dibaca ketika duduk antara 2 sujud adalah lafadz berikut ini.
رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي
وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنيِ
Artinya : Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikah aku
kekuatan, angkatlah aku, beri aku rezeki, tunjuki aku dan sehatkan aku".
Dalilnya adalah riwayat berikut ini :
Dari Huzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa dirinya shalat
bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengucapkan
antara dua sujud : Rabbighfirli".(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
12. Bertasyahhud awal
13. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha.
14. Shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir
Mazhab As-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa shalawat
kepada nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada
keluarga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya sunnah menurut
As-Syafi`iyah dan hukumnya wajib menurut Al-Hanabilah.
Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca shalawat
kepada nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah.
Adapun lafaz shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir seperti yang
diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah :
Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa
shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad wa
`ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka
hamidun majid.(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Artinya : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan
kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada
keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada
Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung.
* Masalah penggunaan lafaz Sayyidina
Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata
[sayyidina] saat mengucapkan shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
(shalawat Ibrahimiyah). Landasannya adalah bahwa penambahan kabar atas apa yang
sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk adab. Jadi lebih utama
digunakan dari pada ditinggalkan.
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata,`Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan sayyidina
di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` (palsu) dan dusta.
15. Doa sesuadah shalawat pada tasyahhud akhir
Diantara doa yang masyhur dan ma`tsur (diwariskan dari nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah lafaz berikut ini :
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina
azabannar.
Atau lafaz berikut ini
Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira, wa innahu la
yaghfiruz-zunuba illa anta, faghfirli maghfiratan min indika, warhamni innaka
antal ghafururrahim. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya : Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri
dengan kezaliman yang besar. Tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa itu kecuali
Engkau. Maka ampunilah diriku dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah diriku ini
karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (HR. Bukhari dan
Muslim dan lafaznya dari Muslim)
Atau lafaz ini
Allahumma inni audzu bika min azabi jahannam, wa min azabil qabri,
wa min fityatil mahya wa mamat, wa min syarri fitnati masihid-dajjal.
Artinya : Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari dari azab
jahannam, dan dari azab kubur, dan dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati,
dan dari fitnah al-masih Dajjal.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian telah selesai dari tasyahhud akhir maka
berlindunglah kepada Allah dari empat hal : [1] dari azab jahannam, [2] dari
azab kubur, [3] dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, [4] dari fitnah
al-masih Dajjal.
Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk membaca doa ini dalam
tasyahhud akhir.
16. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat mengucap dua salam
Dari Said bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata,`Aku melihat
NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri hingga
terlihat putih pipi beliau`.(HR. Muslim)
Dalam lain riwayat disebutkan
`NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan hingga terlihat
putih pipi beliau dan melakukan salam ke kiri hingga terlihat putih pipi
beliau`.(HR. Ad-Daruquthuny)
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa ketika memulai
lafaz salam (assalamu `alaikum), wajah masih menghadap kiblat. Ketika
mengucapkan (warahmatullah), barulah menoleh ke kanan dan ke kiri.
17. Melirihkan salam yang kedua
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan untuk melirihkan ucapan
salam kedua dan mengeraskan ucapan salam yang pertama. Demikian juga dengan
Al-Malikiyah, mereka mengatakan disunnahkan untuk melirihkan salam yang kedua
dan menjaharkan salam yang pertama, baik sebagai imam, sebagai makmum atau pun
bila shalat sendiri.
18. Menunggu bagi masbuq hingga imam selesai dengan dua salamnya
Disunnahkan bagi makmum untuk tidak segera mengucapkan salam
kecuali setelah imam selesai dengan kedua salamnya. Hal itu dikarenakan untuk
berjaga-jaga apabila ternyata imam masih akan melakukan sujud sahwi. Menunda
salam bagi makmum hingga imam selesai dengan kedua salamnya adalah sunnah menurut
Al-Hanafiyah.
19. Khusyu`, tadabbur dalam bacaan shalat dan zikir
AL-Imam As-Syafi`i menyebutkan bahwa disunnahkan untuk melakukan
shalat dengan khusyu` serta tadabbur (merenungkan) bacaan Al-Quran pada shalat.
Termasuk juga bacaan-bacaan lain (zikir) dalam shalat. Beliau juga menyunnahkan
untuk memulai shalat dengan segenap konsentrasi, mengosongkan hati dari segala
pikiran duniawi, karena hal itu lebih memudahkan seseorang untuk bisa khusyu`
dalam shalatnya.□
Pertemuan 7
Hal-hal Yang Membatalkan Shalat
Di antara ha-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah
dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :
1. Berbicara
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu kami
bercakap-capak pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam
shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman
Allah SWT "Peliharalah semua shalat, dan shalat wusthaa . Berdirilah untuk
Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara
dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
2. Makan dan Minum
3. Banyak Gerakan dan Terus Menerus
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus.
Mazhab As-syafi'i memberikan batasan sampai tiga kali gerakan berturut-turut
sehingga seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat.
Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil
menggendong anak (cucunya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil mengendong
Umamah, anak perempuan dari anak perempuannya. Bila beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam sujud, anak itu diletakkannya dan bila berdiri digendongnya
lagi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah orang yang
sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain). Dan beliau
juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu tidak
termasuk yang membatalkan shalat.
4. Tidak Menghadap Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya
bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan
sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang
shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut
Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh posisi
kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Kecuali pada shalat sunnah, dimana menghadap kiblat tidak menjadi
syarat shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya di
atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib
belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian
ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak
menghadap kiblat.
5. Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka
auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam
waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung ditutup
lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau
sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam
masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau
depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja
bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya.
Namun hal ini tidak berlaku.
6. Mengalami Hadts Kecil atau Besar
Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula
shalatnya. Baik terjadi tanpa sengaja atau secara sadar.
Namun harus dibedakan dengan orang yang merasa ragu-ragu dalam
berhadats. Para ulama mengatakan bahwa rasa ragu tidak lah membatalkan shalat.
Shalat itu baru batal apabila memang ada kepastian telah mendapat hadats.
7. Tersentuh Najis baik pada Badan, Pakaian atau Tempat Shalat
Bila seseorang yang sedang shalat terkena benda najis, maka secara
langsung shalatnya menjadi batal. Namun yang dijadikan patokan adalah bila
najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya. Adapun tempat shalat itu sendiri
bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau
pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan.
Demikian juga bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga
terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya
batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu
najis-najis kecil ukuran, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
8. Tertawa
Orang yang tertawa dalam shalatnya, batallah shalatnya itu.
Maksudnya adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Adapun bila sebatas
tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
9. Murtad, Mati, Gila atau Hilang Akal
Orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka
batal shalatnya. Demikian juga bila mengalami kematian. Dan orang yang
tiba-tiba menjadi gila dan hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga
batal.
10. Berubah Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba terbetik niat untuk
tidak shalat di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab
niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan
shalatnya.
11. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan, maka
shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya, seseorang lupa tidak
membaca surat Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Kecuali dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan
bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal
takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan
langsung ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan
pendapat yang mengataka bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti
bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak
membatalkan shalat.
12. Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam,
seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun
bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan
shalat.
AS-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila
mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal yang
sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.
13. Terdapatnya Air bagi Orang yang Shalatnya dengan Tayammum
Seseorang yang bertayammum sebelum shalat, lalu ketika shalat
tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan
berwudhu', maka shalatnya batal. Dia harus berwudhu' saat itu dan mengulangi
lagi shalatnya.
14. Mengucapkan Salam Secara Sengaja
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka
shalatnya batal. Dasarnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat. Kecuali lafadz salam
di dalam bacaan shalat, seperti dalam bacaa tahiyat. □
Shalat Berjamaah
Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya banyak
bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi sebuah
muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan satu
waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan saling
berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa yang
telah mereka pahami.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah terutama dalam
beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang dengan bentuk
jamak.
يَآيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)
Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara berjamaah,
hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan
kata `kami`.
Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS. Al-Fatihah : 6-7)
A. Sejarah Shalat Jamaah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun
siang hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril
‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu
memang belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam
rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu
Jibril shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi dijalankan
secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu
‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat
berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan
dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal
radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah
bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR. Bukhari)
B. Anjuran untuk Shalat Berjamaah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya
seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua
puluh tujuh kali`. (HR Muslim)
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari dalam kitab adzan telah menyebutkan secara
rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan yang
shalat sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera
shalat di awal waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke
masjid dengan berdoa, menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang
shalat, serta permohonan ampun dari mereka, kecewanya syetan karena
berkumpulnya orang-orang untuk bericadah, adanya pelatihan untuk membaca
Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari
kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan
cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan
yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan
dengan shalat sendirian.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih
banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap
puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya,
kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat
dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah
dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan
kesalahannya hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat
kepadanya selama dia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah
berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...".
(HR. Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
Dari Abi Darda` radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3
orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat
jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah,
sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud
dan Nasai)
Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang meninggalkan
shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya
atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR. Muslim)
Dari Ibni Abbas radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Siapa yang
mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada shalat
baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni,
Ibnu Hibban, Al-Hakim)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)
C. Siapakah Yang Disyariatkan Untuk Shalat Jamaah
Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara
berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk shalat
berjamaah secara ijma`.
Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila aman
dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi ke
masjid.
2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat
berjamaah.
3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak wajib
dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau shalat
gerhana matahari dan bulan.
D. Kapan Seorang Masbuq Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam sejak
mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan. Namun
bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai batas
manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna bersama
imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu kali
takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
1. Pendapat Pertama : minimal ikut satu rakaat terakhir
Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa ikut
satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat berjamaah.
Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan mazhab
Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah riwayat
dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu Taymiyah, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin As-Sa`di.
Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut ini:
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan
shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang
mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia
mendapatkan shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)
Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut sebuah
shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa dikatakan
telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat tidak bisa
dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya mendapatkan kurang
dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam shalat setelah imam
bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap tidak mendapatkan
shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat bersama imam.
2. Pendapat Kedua : minimal ikut satu takbir terakhir
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih mendapatkan
satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia mendapatkan
shalat berjamaah.
Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama kalangan
Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad bin
Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin jilid 2
halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf jilid 2
halaman 221).
Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah hadits-hadits
berikut ini :
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan
berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang),
apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal
sempurnakanlah.`(HR. Muslim) .
Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat jamaah
pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir, disebutkan telah
mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa yang tertinggal.
Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam yang terakhir
sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir sebelum tasyahhud
akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
E. Hukum Shalat Berjamaah
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat
berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut
shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila
sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat
berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan
ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil
masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman
142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau
(mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat
kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada
yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya,
bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua
orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari
syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan
bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat.
Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling
shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya
sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :
Dari Abi Darda` radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3
orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat
jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah,
sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud
547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada
keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan
perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah
seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR. Muslim
292 - 674)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan
bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan
berdasarkan hadits ini .
2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i,
Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab
Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal
selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia mendatanginya
untuk shalat.
Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan
shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya .
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa
uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan,
lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku
dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak
ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim) .
3. Pendapat Ketiga : Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani . Beliau berkata bahwa pendapat
yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah
muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain,
fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah
itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali
karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang
sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah
itu sama dengan wajib .
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam
kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat
Jumat hukumnya sunnah muakkadah .
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara
berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah . Ad-Dardir berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah
dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah .
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah
dalil-dalil berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40
menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil
bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
Dari Abi Musa radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang
mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya.
Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang
yang shalat sendirian kemudian tidur.
4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat
fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat
fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam
salah satu pendapatnya . Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga
Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah . Termasuk diantaranya
adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan
Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak
mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR
Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah,
tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu
dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)
Kesimpulan :
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat
manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk
memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah
muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung
juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat
Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua
ulama.
Posting Komentar