Dua Anak Cukup!

Minggu, 22 Februari 20150 komentar



Dua Anak Cukup!
- Dua anak cukup! Kecuali jika Allah subhanahu wata’ala menakdirkan satu saja, insyaAllah yang satu ini kebaikannya bisa melebihi seratus juta manusia yang diciptakan di zamannya. Bukankah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam adalah anak pasangan Abdullah dan Aminah satu-satunya? Bukankah Imam Asy-Syafi’i lahir ke dunia ini tanpa saudara sekandung?
Dan, bukankah Imam Ahmad bin Hanbal pun anak tunggal? Dia lahir tanpa kakak, tanpa adik. Tetapi, di belakangnya, jutaan manusia mengambil manfaat dari ilmunya untuk menegakkan iman dan takwa dengan akidah yang shahih, meskipun yang mengaku sebagai pengikutnya kadang bisa jauh berbeda pendapatnya dari sang guru.
Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari cukup. Empat anak? Baik. Lima anak, baik sekali. Enam anak ke atas, istimewa.
Sepanjang sejarah, dunia ini ada dalam genggaman manusia-manusia yang berjiwa besar, bercita-cita besar, dan berjuang untuk sesuatu yang besar. Bukan sekadar untuk gelar dan tepuk tangan. Bukan sekadar untuk gelar dan tepuk tangan. Bukan sekadar untuk tempat tinggal yang besar dan tumpukan dolar. Tetapi, dunia ini akan tunduk kepada mereka yang sadar betapa kecilnya dunia yang ada di hadapan mata tampak begitu besar.
Kelihatannya sepele, tetapi pikiran kita tentang berapa anak yang kita punya, sangat berpengaruh pada perilaku. Kalau perilaku berkembang menjadi kebiasaan, ia akan melahirkan sikap. Sementara, sikap yang terus mendapat penguatan akan menjadi karakter. Kalau sudah mendarah daging sebagai karakter, ia akan muncul spontan dalam setiap tindakan kita. Ia juga memengaruhi kemampuan dan kekuatan mental−lebih jauh lagi jiwa−kita dalam menghadapi riuh rendahnya perilaku anak.
Kalau kita menginginkan punya anak dua saja karena tidak mau repot mengurusi mereka, kita justru peka terhadap setiap kerepotan, sehingga apapun perilaku mereka, terasa sangat merepotkan.
Kita kehilangan kemampuan untuk mengasuh dengan cara yang membuat mereka matang. Kita kehilangan kesabaran untuk berpikir jernih dan mempertimbangkan kembali sikap-sikap kita dalam menghadapi anak. Tanpa kita sadari, kita kehilangan kekuatan mengarahkan mereka.


Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari cukup
Kalau kita mencukupkan dengan dua anak dan tak mau lebih dari itu karena alasan biaya pendidikan cukup mahal di negeri ini, sungguh baru saja kita jatuh pada sikap yang tidak akan lahir dari tutur kata maupun perilaku kita dalam mengasuh, kecuali jiwa anak akan lemah dan rapuh.
Sebab, kekuatan kata-kata kita saat memberi nasihat kepada anak, bukan hanya ditentukan oleh kecakapan memilih kata yang tepat dan menentukan ungkapan yang indah. Kekuatan kata yang kita ucapkan kepada anak ditentukan oleh jiwa yang mengungkapkannya.
Betapa banyak orang yang tidak pernah belajar sastra, tetapi tidaklah lisan mereka bertutur kata melainkan yang berbobot (qaulan tsaqîla). Kata-kata mereka membekas pada jiwa bukan karena tingginya penguasaan psikologi komunikasi, melainkan karena jiwa mereka jernih dan hati mereka bersih. Dan hari ini, aku dapati diriku amat jauh dari kualitas seperti itu karena keringnya rohani dan lemahnya jiwa.
Sungguh, tidaklah kita menghalang-halangi anak kita lahir, kecuali karena lemahnya iman dan rapuhnya keyakinan kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Ingatlah ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ.
Katakanlah (Muhammad), ”Marilah Aku bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikianlah itu yang diperintahkan kepadamu agar kamu mengerti. (Al-An‘âm [6]: 151)
Ada pesan Allah di ayat ini yang ingin saya bacakan kembali, ”Janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin!” Lalu, apakah yang membuatmu telah menghalang-halangi lahirnya keturunan, padahal kepada-Nya engkau mengaku telah beriman? Apakah yang membuatmu merasa Allah ‘Azza wa Jalla tak cukup mampu menolongmu, padahal tidaklah engkau bernapas kecuali dengan nikmat-Nya yang berlimpah?

Sungguh, telah banyak pelajaran yang hadir di hadapan kita, baik dulu maupun sekarang, bagaimana orang-orang besar yang memberi pengaruh pada jalannya sejarah justru lahir bukan dari gedung-gedung megah dengan harta melimpah. Di antara mereka justru lahir dan dibesarkan dalam keadaan kekurangan, tetapi mereka dipenuhi kasih sayang, perhatian yang tulus, doa yang tak putus-putus dari orang tua mereka. Imam Asy-Syafi’i salah satu contohnya.
Tetapi, layakkah kita mengharapkan anak berikutnya kalau untuk menyediakan dua kambing akikah saja kita tak mampu? Astaghfirullâhal ‘azhîm …. Sejak kapan kita mengubah hukum Allah ‘Azza wa Jalla sehingga mengharuskan adanya kemampuan berakikah sebelum lahirnya seorang putra?
Bukankah kedua anak lelaki Ali bin Abi Thalib tidaklah diakikahi, melainkan hanya dengan seekor kambing? Bukankah Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling layak didengar karena ketinggian ilmu dan kemuliaan kedudukannya sebagai orang yang paling dikasihi Nabi ? Dan, bukankah kita melihat bagaimana kemuliaan keturunannya?
Tentu saja tak salah kalau kita mengatur jarak antar-anak. Kita juga boleh merencanakan bagaimana membesarkan anak-anak kita. Jangankan lima anak, satu saja harus kita rencanakan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak meninggalkan generasi yang kita khawatir nasibnya sesudah kita tiada.
Allah dan Rasul-Nya juga telah memberikan izin kepada kita untuk melakukan ‘azl (coitus interruptus) sebagai cara mengatur jarak kelahiran. Dan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak ada hak bagi kita untuk mengharamkannya. Tetapi, pada saat yang sama kita harus selalu ingat bahwa jika Allah berkehendak, tak ada yang dapat menghalangi meski seribu cara sudah kita jalani.
Dan sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Seperti kata Umar bin Al-Khaththab, kita tidak tahu dari anak yang mana kita memperoleh berkah paling besar.

Dua anak cukup, tiga anak lebih dari cukup, empat anak baik!
Kalau engkau mempersiapkan dirimu untuk sebuah tanggung jawab besar, akan ringan bagimu−insyaAllah−apabila hadir amanah yang lebih kecil. Seorang tentara pilihan yang terlatih untuk menghadapi pasukan musuh, akan ringan baginya apabila mendapat tugas menjaga keamanan kampung. Tetapi, hansip yang disiapkan untuk menjaga keamanan pasar, akan kelabakan apabila kepadanya diembankan tugas mengawal pasukan bersenjata. Bukan menghadapi.
Jika engkau bersiap untuk membesarkan sepuluh anak, kalau Allah hanya izinkan bagimu empat atau lima anak, insyaAllahtidaklah mereka tumbuh besar kecuali sebagai manusia yang berjiwa besar, berkarakter kuat, dan memiliki mental yang kukuh. Tetapi, jika engkau mempersiapkan dirimu untuk mengasuh hanya dua anak, jangankan empat, dua pun bisa engkau anggap berat.
Sama halnya dengan jenjang pendidikan. Tak ada bedanya ibu yang hanya lulus SMA dengan mereka yang tamat S-3 jika tak ada niat yang sungguh-sungguh untuk menggunakan ilmunya dalam mendidik anak. Sebab sistem di otak kita bekerja sangat selektif dan luar biasa.
Jika engkau menganggap mendidik anak tak butuh ilmu, sehingga berada di rumah bersama anak setelah menyelesaikan pendidikan yang tinggi merupakan kesia-siaan, seperti itulah yang engkau dapatkan. Ilmu itu tak memberi manfaat bagimu dalam mendidik anak. Ia tidak hidup pada dirimu.
Contoh berikut mungkin tidak relevan dengan perbincangan kita tentang pendidikan seorang ibu. Tetapi, engkau dapat memahami dengan lebih mudah bagaimana otak kita bekerja sangat selektif. Dibandingkan suara gembok yang beradu dengan pintu gerbang rumah kita, suara pesawat jauh lebih keras.
Tetapi, tanyakanlah kepada mereka yang tinggal dekat bandara, apakah yang segera membangunkan tidur mereka pada malam hari? Suara pesawat takeoff yang memekakkan telinga atau derit pintu gerbang? Jangan kaget! Otak kita memang telah mempersiapkan sistem, sehingga suara pesawat yang biasa lewat kita abaikan begitu saja dan tak terdengar, sementara gemerencing gembok yang terbuka segera membangunkan tidur kita.
Apa artinya? Ada sesuatu pada diri kita. Ia sangat menentukan apakah ilmu kita memberi manfaat atau tidak bagi kehidupan kita dan keluarga. Ia adalah intensi. Niat. Niat itulah yang memengaruhi sistem di otak kita dan pada akhirnya memengaruhi diri kita.
Niat bukanlah apa yang kita ucapkan dengan lisan dan dengan mudah kita sesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi, niat adalah apa yang menjadi penggerak dasar tindakan kita. Tak ada yang lebih tahu apa yang sungguh-sungguh menjadi niat kita kecuali hati kita. Maka, bertanyalah kepadanya.
Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari cukup. Empat anak baik. Lima anak baik sekali. Enam anak ke atas istimewa. Kalau hari ini engkau memutuskan punya anak cukup dua saja, tidak kurang tidak lebih, bertanyalah kepada dirimu apakah niatmu?
Atau dengan ungkapan lain, bangunlah niat yang mulia di dalamnya! Bukan karena takut repot, karena boleh jadi ketakutan itu yang justru membuat mereka sangat merepotkan. Bukan karena takut miskin, karena boleh jadi kekhawatiran itulah yang membuat kita tidak sanggup mengantarkan mereka pada kesuksesan dan kemuliaan. Padahal, mereka yang lebih miskin mampu mengantarkan anaknya ke jenjang pendidikan paling tinggi.
Wallâhu a‘lam bish-shawâb. Hanya Allah Yang Menggenggam rahasia segala ilmu. Kepada-Nya kita minta ilmu yang manfaat; untuk kita dan anak-anak kita. Semoga kita semua berjalan dengan hidayah-Nya.
(Disadur dengan sedikit perubahan dari buku Positive Parenting, karya Fauzil Adhim)
Sumber; Lasdipo.com
Globalislam.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Globalislam.com / media islam network - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger