Dua Anak Cukup!
- Dua anak cukup!
Kecuali jika Allah subhanahu wata’ala menakdirkan satu saja, insyaAllah yang
satu ini kebaikannya bisa melebihi seratus juta manusia yang diciptakan di
zamannya. Bukankah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam adalah anak
pasangan Abdullah dan Aminah satu-satunya? Bukankah Imam Asy-Syafi’i lahir ke
dunia ini tanpa saudara sekandung?
Dan, bukankah Imam Ahmad bin Hanbal
pun anak tunggal? Dia lahir tanpa kakak, tanpa adik. Tetapi, di belakangnya,
jutaan manusia mengambil manfaat dari ilmunya untuk menegakkan iman dan takwa
dengan akidah yang shahih, meskipun yang mengaku sebagai pengikutnya kadang
bisa jauh berbeda pendapatnya dari sang guru.
Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari
cukup. Empat anak? Baik. Lima anak, baik sekali. Enam anak ke atas, istimewa.
Sepanjang sejarah, dunia ini ada
dalam genggaman manusia-manusia yang berjiwa besar, bercita-cita besar, dan
berjuang untuk sesuatu yang besar. Bukan sekadar untuk gelar dan tepuk tangan.
Bukan sekadar untuk gelar dan tepuk tangan. Bukan sekadar untuk tempat tinggal
yang besar dan tumpukan dolar. Tetapi, dunia ini akan tunduk kepada mereka yang
sadar betapa kecilnya dunia yang ada di hadapan mata tampak begitu besar.
Kelihatannya sepele, tetapi pikiran
kita tentang berapa anak yang kita punya, sangat berpengaruh pada perilaku.
Kalau perilaku berkembang menjadi kebiasaan, ia akan melahirkan sikap.
Sementara, sikap yang terus mendapat penguatan akan menjadi karakter. Kalau
sudah mendarah daging sebagai karakter, ia akan muncul spontan dalam setiap
tindakan kita. Ia juga memengaruhi kemampuan dan kekuatan mental−lebih jauh
lagi jiwa−kita dalam menghadapi riuh rendahnya perilaku anak.
Kalau kita menginginkan punya anak
dua saja karena tidak mau repot mengurusi mereka, kita justru peka terhadap
setiap kerepotan, sehingga apapun
perilaku mereka, terasa sangat merepotkan.
Kita kehilangan kemampuan untuk
mengasuh dengan cara yang membuat mereka matang. Kita kehilangan kesabaran untuk berpikir jernih dan
mempertimbangkan kembali sikap-sikap kita dalam menghadapi anak. Tanpa kita
sadari, kita kehilangan kekuatan mengarahkan mereka.
Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari
cukup
Kalau kita mencukupkan dengan dua
anak dan tak mau lebih dari itu karena alasan biaya pendidikan cukup mahal di
negeri ini, sungguh baru saja kita jatuh pada sikap yang tidak akan lahir dari
tutur kata maupun perilaku kita dalam mengasuh, kecuali jiwa anak akan lemah
dan rapuh.
Sebab, kekuatan kata-kata kita saat
memberi nasihat kepada anak, bukan hanya ditentukan oleh kecakapan memilih kata
yang tepat dan menentukan ungkapan yang indah. Kekuatan kata yang kita ucapkan
kepada anak ditentukan oleh jiwa yang mengungkapkannya.
Betapa banyak orang yang tidak
pernah belajar sastra, tetapi tidaklah lisan mereka bertutur kata melainkan
yang berbobot (qaulan tsaqîla). Kata-kata mereka membekas pada jiwa
bukan karena tingginya penguasaan psikologi komunikasi, melainkan karena jiwa
mereka jernih dan hati mereka bersih. Dan hari ini, aku dapati diriku amat jauh
dari kualitas seperti itu karena keringnya rohani dan lemahnya jiwa.
Sungguh, tidaklah kita
menghalang-halangi anak kita lahir, kecuali karena lemahnya iman dan rapuhnya
keyakinan kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Ingatlah ketika Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ
رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ
وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ.
Katakanlah (Muhammad), ”Marilah Aku
bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah
membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang terlihat ataupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
Demikianlah itu yang diperintahkan kepadamu agar kamu mengerti. (Al-An‘âm [6]: 151)
Ada pesan Allah di ayat ini yang
ingin saya bacakan kembali, ”Janganlah membunuh anak-anakmu karena takut
miskin!” Lalu, apakah yang membuatmu telah menghalang-halangi lahirnya
keturunan, padahal kepada-Nya engkau mengaku telah beriman? Apakah yang
membuatmu merasa Allah ‘Azza wa Jalla tak cukup mampu menolongmu,
padahal tidaklah engkau bernapas kecuali dengan nikmat-Nya yang berlimpah?
Sungguh, telah banyak pelajaran yang
hadir di hadapan kita, baik dulu maupun sekarang, bagaimana orang-orang besar
yang memberi pengaruh pada jalannya sejarah justru lahir bukan dari gedung-gedung
megah dengan harta melimpah. Di antara mereka justru lahir dan dibesarkan
dalam keadaan kekurangan, tetapi mereka dipenuhi kasih sayang, perhatian yang
tulus, doa yang tak putus-putus dari orang tua mereka. Imam Asy-Syafi’i
salah satu contohnya.
Tetapi, layakkah kita mengharapkan
anak berikutnya kalau untuk menyediakan dua kambing akikah saja kita tak mampu?
Astaghfirullâhal ‘azhîm …. Sejak kapan kita mengubah hukum Allah ‘Azza
wa Jalla sehingga mengharuskan adanya kemampuan berakikah sebelum lahirnya
seorang putra?
Bukankah kedua anak lelaki Ali bin
Abi Thalib tidaklah diakikahi, melainkan hanya dengan seekor kambing? Bukankah
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling layak didengar karena ketinggian
ilmu dan kemuliaan kedudukannya sebagai orang yang paling dikasihi Nabi ? Dan,
bukankah kita melihat bagaimana kemuliaan keturunannya?
Tentu saja tak salah kalau kita
mengatur jarak antar-anak. Kita juga boleh merencanakan bagaimana membesarkan
anak-anak kita. Jangankan lima anak, satu saja harus kita rencanakan dengan
sungguh-sungguh agar kita tidak meninggalkan generasi yang kita khawatir
nasibnya sesudah kita tiada.
Allah dan Rasul-Nya juga telah
memberikan izin kepada kita untuk melakukan ‘azl (coitus interruptus)
sebagai cara mengatur jarak kelahiran. Dan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, tidak ada hak bagi kita untuk mengharamkannya. Tetapi, pada saat
yang sama kita harus selalu ingat bahwa jika Allah berkehendak, tak ada yang
dapat menghalangi meski seribu cara sudah kita jalani.
Dan sesungguhnya, Allah Maha
Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Seperti kata Umar bin
Al-Khaththab, kita tidak tahu dari anak yang mana kita memperoleh berkah paling
besar.
Dua anak cukup, tiga anak lebih dari cukup, empat anak baik!
Kalau engkau mempersiapkan dirimu
untuk sebuah tanggung jawab besar, akan ringan bagimu−insyaAllah−apabila
hadir amanah yang lebih kecil. Seorang tentara pilihan yang terlatih untuk
menghadapi pasukan musuh, akan ringan baginya apabila mendapat tugas menjaga
keamanan kampung. Tetapi, hansip yang disiapkan untuk menjaga keamanan pasar,
akan kelabakan apabila kepadanya diembankan tugas mengawal pasukan bersenjata.
Bukan menghadapi.
Jika engkau bersiap untuk
membesarkan sepuluh anak, kalau Allah hanya izinkan bagimu empat atau lima
anak, insyaAllahtidaklah mereka tumbuh besar kecuali sebagai manusia
yang berjiwa besar, berkarakter kuat, dan memiliki mental yang kukuh. Tetapi,
jika engkau mempersiapkan dirimu untuk mengasuh hanya dua anak, jangankan
empat, dua pun bisa engkau anggap berat.
Sama halnya dengan jenjang
pendidikan. Tak ada bedanya ibu yang hanya lulus SMA dengan mereka yang tamat
S-3 jika tak ada niat yang sungguh-sungguh untuk menggunakan ilmunya dalam
mendidik anak. Sebab sistem di otak kita bekerja sangat selektif dan luar
biasa.
Jika engkau menganggap mendidik anak
tak butuh ilmu, sehingga berada di rumah bersama anak setelah menyelesaikan
pendidikan yang tinggi merupakan kesia-siaan, seperti itulah yang engkau
dapatkan. Ilmu itu tak memberi manfaat bagimu dalam mendidik anak. Ia tidak
hidup pada dirimu.
Contoh berikut mungkin tidak relevan
dengan perbincangan kita tentang pendidikan seorang ibu. Tetapi, engkau dapat
memahami dengan lebih mudah bagaimana otak kita bekerja sangat selektif.
Dibandingkan suara gembok yang beradu dengan pintu gerbang rumah kita, suara
pesawat jauh lebih keras.
Tetapi, tanyakanlah kepada mereka
yang tinggal dekat bandara, apakah yang segera membangunkan tidur mereka pada
malam hari? Suara pesawat takeoff yang memekakkan telinga atau derit
pintu gerbang? Jangan kaget! Otak kita memang telah mempersiapkan sistem,
sehingga suara pesawat yang biasa lewat kita abaikan begitu saja dan tak
terdengar, sementara gemerencing gembok yang terbuka segera membangunkan tidur
kita.
Apa artinya? Ada sesuatu pada
diri kita. Ia sangat menentukan apakah ilmu kita memberi manfaat atau tidak
bagi kehidupan kita dan keluarga. Ia adalah intensi. Niat. Niat itulah yang
memengaruhi sistem di otak kita dan pada akhirnya memengaruhi diri kita.
Niat bukanlah apa yang kita ucapkan
dengan lisan dan dengan mudah kita sesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi, niat
adalah apa yang menjadi penggerak dasar tindakan kita. Tak ada yang lebih tahu
apa yang sungguh-sungguh menjadi niat kita kecuali hati kita. Maka, bertanyalah
kepadanya.
Dua anak cukup. Tiga anak lebih dari
cukup. Empat anak baik. Lima anak baik sekali. Enam anak ke atas istimewa.
Kalau hari ini engkau memutuskan punya anak cukup dua saja, tidak kurang tidak
lebih, bertanyalah kepada dirimu apakah niatmu?
Atau dengan ungkapan lain, bangunlah
niat yang mulia di dalamnya! Bukan karena takut repot, karena boleh jadi
ketakutan itu yang justru membuat mereka sangat merepotkan. Bukan karena takut
miskin, karena boleh jadi kekhawatiran itulah yang membuat kita tidak sanggup
mengantarkan mereka pada kesuksesan dan kemuliaan. Padahal, mereka yang lebih
miskin mampu mengantarkan anaknya ke jenjang pendidikan paling tinggi.
Wallâhu a‘lam bish-shawâb. Hanya Allah Yang Menggenggam rahasia segala ilmu.
Kepada-Nya kita minta ilmu yang manfaat; untuk kita dan anak-anak kita. Semoga
kita semua berjalan dengan hidayah-Nya.
(Disadur dengan sedikit perubahan
dari buku Positive Parenting, karya Fauzil Adhim)
Sumber;
Lasdipo.com
Globalislam.
Posting Komentar