Shalat
Jum’at Bagi Musafir
Shalat
jum’at tidak wajib atas musafir berdasarkan zhahir atsar – atsar yang ada. Inilah
pendapat yang paling dekat dengan sunnah.
Ash-Shan’ani
menulis, “Musafir tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at. Ini berlaku untuk mubasyir safar, orang yang sedang dalam
perjalanan. Sedangkan orang yang nazil,
sampai di tempat tujuan, wajib menghadirinya; meskipun dia tiba saat shalat didirikan.
Inilah pendapat sebagian ulama Ahlulbait dan yang lain. Ada juga yang
mengatakan, shal Jum’at tidak diwajibkan atasnya sama sekali. Sebab meskipun
dia nazil, dia masih berstatus
musafir. Ini juga pendapat sebagian ulama Ahlulbait dan yang lain, inilah
pendapat yang paling mendekati (kebenaran). Sebab hukum – hukum safar masih
berlaku baginya, seperti mengqashar
shalat dan sebagainya. Karena itulah tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa
beliau mendirikan shalat Jum’at di Arafah pada waktu haji Wada’. Sebab beliau
berstatus musafir. Demikian pula halnya dengan shalat Id, musafir tidak
berkewajiban melakksanakannya. Dan karena itu pulalah tidak ada riwayat yang
menyebutkan bahwa beliau mendirikan shalat Id dalam pelaksanaan haji Wada’ itu.
Asy-Syaukani
menulis, “Tentang apakah musafir yang nazil berkewajiban untuk mengerjakan
shalat Jum’at, para ulama berbeda pendapat. Para fuqaha’, Zaid bin Ali,
Al-Baqir dan Imam Yahya berpendapat, dia tidak wajib mengerjakannya, walaupun
dia sampai saat shalat didirikan. Mereka berdalil denagn hadist jabir – jabir tersebut
di muka yang menjadikan safar sebagai perkecualian (dari kewajiaban shalat Jum’at)
Ibnu
Umar berkata, “tidak ada kewajiban shalat Juma’at bagi musafir”
Ali berkata,
“tidak ada kewajiban shalat Juma’at bagi musafir”
Ibnu
Wahab berkata, “beberapa orang ulama menyampaikan kepadaku bahwa Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, Zaid bin Aslam, Umar bin
Abdul Aziz, Yahya bin Sa’id, dan Ibnu Syihab menfatwakan seperti itu.”
Sahnun
menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Di dalam safarnya kaum Muslimin tidak
berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Tidak juga pada hari nafar mereka.”
Al-Malik
menulis,”Jika imam haji bertemu denagn hari Jum’at, hari Arafah, hari Nahr (Idul
Adha), atau sebagian dari hari Tasyriq pasca hari Nahr, dia tidak
perlumendirikan shalat Jum’at di hari-hari itu. Sebab hal itu menyelisihi
sunnah. Dan karena tidak ada shalat Jum’at atas musafir.”
Al-Aini
menulis,”Ibnu Bathal berkata,”Kebanyakan ulama berpendapat, tidak ada shalat
Jum’at atas musafir. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Abu Syaiban dari Ali
bin Abu Thalib, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Samurah, Ibnu Mas’ud,
beberapa orang sahabat Abdullah, Makhul, Urwah bin Mughirah, Ibrahim An-Nakha’I,
Abul Malik bin Marwan, Sya’bi, dan Umar bin Abdul Aziz.”
Al-Albani
menulis,”Shalat Jum’at tidak wajib atas orang yang boleh mengqasar shalat. Sebab
saat Nabi dan para sahabatnya menunaikan haji dan yang lain, tidak ada
seseorang pun dari mereka yang mendirikan shalat Jum’at. Padahal jumlah mereka
cukup banyak.”
Ada
sebagian orang yang mskipun mereka bersafar atau sampai ke tempat tujuan
medirikan shalat Jum’at di tempat yang tidak disyariatkan didirikan shalat Jum’at.
Mereka telah melakukan kekeliruan. Shalat mereka tidak sah, dan wajib bagi
mereka mengerjakan shalat yang kedua, shalat Zhuhur. Sebab, shalat Dzuhurlah
yang wajib atas mereka.
Apabila
seoarang musafir ikut berjama’ah shalat Jum’at hendaknya dia tidak menjamaknya
dengan shalat Ashar. Dia mesti mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Sebab,
tidak ada dalil yang membolehkan jamak shalat Jum’at denagn shalat Ashar. Shalat
Jum’at tidak dapat dijamak denagn shalat apa pun. Dan karena tidak diwajibkan
shalat Jum’at bagi seseorang apakah lantaran dia sedang dalam perjalanan, atau
bersafar sebelum masuknya waktu shalat Jum’at, atau berada di tempat yang tidak
disyariatkan mendirikan shalat Jum’at di situ, dia boleh menjamak shalat Dzuhur
dan Ashar.
Sumber : fikih musafir/imtihan Asy-Syafi’i.(Al-Qaul Al-Wafirn
fi
Shalat Al-Musafir )/media zikir
Editor : ummu Raeesa
Posting Komentar